maulid saw dan baayun anak

Menyoal Baayun Maulid
Oleh: Wajidi, Peneliti Madya pada Balitbangda Provinsi Kalsel
Banjarmasinpost.co.id – Sabtu, 19 Februari 2011 | Dibaca 156 kali | Komentar (1)

PADA peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, tiap 12 Rabiul Awal di Kalimantan Selatan ada tradisi menarik, yakni Baayun Maulid. Salah satunya di Kompleks Makam Sultan Suriansyah, Kuin Utara.

Baayun asal katanya ayun yang diartikan melakukan proses ayunan. Bayi yang mau ditidurkan dalam ayunan biasanya diayun oleh ibunya. Asal kata maulid berasal dari peristiwa maulid (kelahiran) Nabi Muhammad SAW.

Dengan demikian, Baayun Maulid diartikan sebagai kegiatan mengayun bayi atau anak sambil membaca syair maulid atau bersamaan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW.

Prosesi mengayun anak (maayun anak) pada tradisi baayun maulid sesungguhnya menggambarkan adanya akulturasi budaya antara unsur kepercayaan lama dan Islam.

Tradisi asalnya dilandasi oleh kepercayaan Kaharingan. Dalam perkembangannya, upacara maayun anak mengalami akulturasi dengan agama Hindu dan Islam. Hal tersebut dapat dibedakan dari: (a) Maksud dan tujuan upacara; (b) Pelaksanaan upacara; (c) Perlengkapan upacara; (d) Perlambang atau simbolika yang dipengaruhi oleh unsur kepercayaan Kaharingan, Hindu, dan Islam.

Berdasarkan tradisi asalnya, tata cara maayun anak dalam upacara baayun maulid sebenarnya berasal tradisi bapalas bidan sebagai tradisi yang berlandaskan kepada kepercayaan Kaharingan.

Ketika agama Hindu berkembang di daerah ini, maka berkembang pula budaya yang serupa dengan baayun anak yakni baayun wayang (didahului oleh pertunjukan wayang), baayun topeng (didahului oleh pertujukan topeng) dan baayun madihin (mengayun bayi sambil melagukan syair madihin).

Ketika Islam masuk dan berkembang, upacara bapalas bidan tidak lantas hilang, meski dalam pelaksanaannya mendapat pengaruh unsur Islam.

Selain dilaksanakan oleh masyarakat Banjar yang tinggal di perdesaan, upacara bapalas bidan juga dilaksanakan oleh orang Dayak Meratus. Setelah bayi lahir, orang Dayak Meratus melaksanakan upacara bapalas bidan, yakni memberi hadiah (piduduk) berupa lamang ketan, sumur-sumuran (aing terak), beras, gula dan sedikit uang kepada bidan atau balian yang menolong. Biasanya sekaligus pemberian nama kepada sang bayi. Termasuk nantinya saat anak mulai berjalan (turun) ke tanah dari rumah (umbun) juga dengan upacara mainjak tanah, tetap dipimpin oleh balian.

Pelaksanaan bapalas bidan, biasanya dilakukan ketika bayi berumur 40 hari. Bapalas bidan selain dimaksudkan sebagai balas jasa terhadap bidan, juga merupakan penebus atas darah yang telah tumpah ketika melahirkan.

Pada upacara bapalas bidan, anak dibuatkan buaian (ayunan) yang diberi hiasan menarik, seperti udang-udangan, belalang dan urung ketupat berbagai bentuk, serta digantungkan bermacam kue seperti cucur, cincin, apam, pisang dan lain-lain.

Kepada bidan yang telah berjasa menolong persalinan, diberikan hadiah segantang beras, jarum, benang, seekor ayam (jika bayi lahir laki-laki, maka diserahkan ayam jantan dan jika perempuan diberikan ayam betina), sebiji kelapa, rempah-rempah dan bahan untuk menginang seperti sirih, kapur, pinang, gambir, tembakau dan berupa uang.

Karena berasal dari tradisi pra-Islam, maka di antara perlengkapan baayun maulid seperti ayunan dan piduduk mempunyai persamaan dengan perlengkapan langgatan pada acara tradisional aruh ganal yang dilaksanakan orang Dayak Meratus.

Ketika Islam datang ke daerah ini, acara bapalas bidan dan maayun anak tidak dilarang, hanya kebiasaan yang tidak sesuai sedikit demi sedikit ditinggalkan. Begitupula berbagai perlengkapan, maksud dan tujuan, dan perlambang (simbolika) juga disesuaikan atau diisi dengan nilai-nilai Islam. Maayun anak kemudian dilaksanakan bersama-sama di masjid bersamaan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW.

Baayun maulid di masjid Banua Halat sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam. Umat Isal melaksanakannya sebagai pencerminan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat bagi sekalian alam.

Adanya puji-pujian dan salawat yang menyertai peringatan maulid nabi merupakan simbol akan kecintaan kepada nabi dan sekaligus harapan umat Islam yang selalu mengenang, meneladani kehidupan, dan mengharap syafaat dari Rasulullah.

Terlepas dari motifnya apa, maksud maayun anak bersamaan dengan peringatan maulid nabi adalah untuk membesarkan nabi sekaligus berharap berkah atas kemuliaan Nabi Muhammad SAW, disertai doa agar sang anak yang diayun menjadi umat yang taat, bertakwa kepada Allah SWT dan RasulNya, serta kehidupannya selalu terpaut untuk salat berjemaah di masjid.

Mengacu pada contoh penyelenggaraan baayun maulid di Banua Halat, jelas bahwa penyelenggaraan baayun maulid di Kompleks Makam Sultan Suriansyah yang notabene kompleks pekuburan kurang selaras dengan filosofi agar anak yang diayun hatinya terpaut dengan mesjid.

Apalagi orang Banjar mempunyai pamali atau pantangan dengan menyatakan jangan maayun anak dekat kuburan nanti kapidaraan (diganggu makhlus halus/roh orang mati).

Sehubungan dengan hal tersebut, maka seyogianya tradisi baayun maulid di Kompleks Makam Sultan Suriansyah dipindah lokasinya ke Masjid Sultan Suriansyah. Sedangkan lokasi yang ditinggalkan difungsikan sebagai lokasi haul Sultan Suriansyah dan keluarga raja-raja Banjar lainnya.
red: DhenySumber: BANJARMASIN POST Edisi cetak
Share
Cetak
Kirim Artikel
Redaksi Bpost Group: 0511 3354370
Email : redaksi@banjarmasinpost.co.id atau banjarmasin_post@yahoo.com
Iklan : 08115003012
Sirkulasi & Promosi : 08115002002

Dapatkan kabar Banua terbaru melalui ponsel, blackberry anda di: http://m.banjarmasinpost.co.id
1 dari 1 Halaman Komentar | First Prev Next Last
Komentar dari: Ramli Nawawi | Sabtu, 19 Februari 2011
Sepertinya memang masih banyak hal-hal yang dikaitkan dengan kegiatan2 keagamaan (Islam)yang perlu diluruskan.
POSTING TANGGA

Tinggalkan sebuah Komentar

Maulid Nabi Muhammad Saw

Maulid Nabi dan Nilai Reformasi
Oleh: Muhamad Akli * Alumnus IAIN Antasari Banjarmasin
Banjarmasinpost.co.id – Selasa, 15 Februari 2011 | Dibaca 143 kali | Komentar (0)

SUDAH menjadi tradisi, tiap datang Rabiul Awal umat Islam memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, biasa disebut maulid Nabi. Hampir di seluruh pelosok daerah memperingatinya, termasuk instansi pemerintah.

Peringatan maulid Nabi pada hakikatnya untuk menunjukkan kecintaan sekaligus memuliakan Nabi Muhammad SAW.

Lahirnya Nabi Muhammad SAW merupakan rahmat bagi seluruh alam, terutama bagi yang bersedia dengan tulus untuk mengikuti ajarannya yang selanjutnya berisikan koreksi total terhadap keimanan, perilaku, dan akhlak manusia. Dan reformasi total terhadap sosio kultural, hukum, ekonomi, dan politik global.

Betapa tidak, ketika Nabi Muhammad SAW dilahirkan kondisi masyarakat Arab dalam kegelapan dan kebodohan (jahiliyah). Tatanan kehidupan sosial dan masyarakat kacau balau, perbudakan yang meruntuhkan martabat manusia, perekonomian dimonopoli oleh pemuka dan penguasa dalam kelompok (kabilah) yang kuat dan berpengaruh.

Dan kemusyrikkan mewarnai kehidupan mereka. Orientasi materi mendominasi penyembahan dan pengabdian mereka dengan alasan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Melihat kenyataan itu, Nabi Muhammad SAW diutus untuk melakukan reformasi.

Berpegang teguh pada kebenaran Islam, istiqamah, dan amanah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan meski tantangan, tekanan dan hambatan begitu dahsyat. Bahkan, datang dari pihak keluarga besarnya untuk menekan dan mengintimidasi.

“Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan tugasku ini, sungguh aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah SWT membuktikan kemenanganku atau aku harus binasa karenanya”. Demikian pula dalam menegakkan keadilan, tidak tebang pilih.

Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri niscaya aku potong tangannya”. Pernyataan itu disampaikan beliau dalam kapasitasnya sebagai kepala negara di Madinah untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Menutup akses hubungan keluarga, kerabat, atau pendukung demi tegaknya hukum.

Untuk menyelesaikan persoalan kriminalitas, Nabi Muhammad SAW tidak hanya menyandarkan pada seruan moralitas atau akhlak belaka. Tetapi, memberlakukan sanksi yang tegas atas pelakunya.

Sanksi hukum tegas dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika orang Yahudi membunuh seorang laki-laki yang membela perempuan muslimah. Ketegasan sanksi hukum juga diberlakukan pada Ghamidiyah dan Maiz yang telah berzina dengan hukum rajam sampai mati.

Lalu, apakah ritual peringatan maulid Nabi Muhammad SAW yang tiap tahun diperingati mampu memberikan pencerahan dan efek positif reformasi? Atau terperangkap pada era jahiliyah modern?

Sementara ini, hanya sedikit di antara kita yang mampu menjadikannya hikmah dan pelajaran. Dan selebihnya, berupa seremonial tahunan yang hanya menyentuh sisi luar kehidupan masyarakat. Ironisnya lagi, dalam kehidupan bikrokrasi, ekonomi, dan politik. Bahkan dalam penegakan hukum demi keadilan.

Dalam reformasi birokrasi, yang mesti dilakukan adalah menumbuhkan sikap negarawan dan mengoptimalkan pelayanan publik. Reformasi birokrasi seperti itu merupakan agenda penting yang mestinya menjadi prioritas siapa pun yang memerintah dalam semua tingkatan.

Sebagaimana birokrasi yang dibangun Nabi Muhammad SAW dengan para sahabatnya, Menumbuhkan komunikasi yang bersahabat dan saling menunjang, bukan bermuka masam dan saling menyakiti dengan statemen kasar dan arogan, atau saling menjatuhkan.

Reformasi ekonomi mikro dibangun Nabi Muhammad SAW dengan amanah dan kepercayaan, mampu mendongkrak ekonomi kerakyatan. Sebab amanah dan kepercayaan adalah fondasi ekonomi mikro.

Ekonomi makro lebih menekankan pada kemakmuran yang riil, menutup akses kemakmuran semu, seperti pada sistem kapitalis.

Dari sisi reformasi politik, yang mesti dibangun adalah semangat Bhinneka Tunggal Ika. Jika sebelumnya berbentuk parsial, karena politik partai dengan beragam tujuan dan kepentingan, kini saatnya kembali ke politik yang menyejukkan agar terhindar atau paling tidak mengurangi egoisme, bersitegang urat leher, atau menjual wacana yang menciderai amanat rakyat.

Penegakkan supremasi hukum yang menjadi amanat reformasi kian terseok-seok di tengah badai jahiliyah modern. Betapa pun beratnya persoalan yang dihadapi, dengan semangat dan kesungguhan segera teratasi dengan tegaknya keadilan dan kebenaran.

Kini, masyarakat menanti terwujudnya agenda besar, reformasi. Baik reformasi birokrasi, pendidikan, ekonomi, politik dan hukum. Tegaknya reformasi sebagai bentuk koreksi terhadap pemerintah untuk tetap istiqamah dalam menjalankan fungsi dan nilai reformasi, demi kepentingan kehidupan masyarakat.

Masyarakat menanti tegaknya sebuah keadilan, terciptanya kehidupan yang aman, adil dan sejahtera. Semoga.
red: DhenySumber: Banjarmasin Post
Share

Tinggalkan sebuah Komentar

Guru Sekumpul Dan Wacana Nur Muhammad

Oleh: Zulfa Jamalie

ALIMUL Fadhil H Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari (Guru Sekumpul) dalam ceramahnya pernah menyinggung wacana tentang Nur Muhammad.
ntuk membutiri kembali pandangan tentang Nur Muhammad dimaksud, seiring dengan peringatan haul beliau yang ke-5 tahun ini (5 Rajab 1431 H 17 Juni 2010 M), berikut tulisan ini dihadirkan guna pencerahan. Apakah

Guru Sekumpul memulai penjelasannya dengan ungkapan yang sangat dikenal dalam dunia tasawuf, di mana untuk mengenal Tuhan seseorang harus terlebih dahulu mengenal akan dirinya.

Maksudnya, untuk sampai kepada pengenalan terhadap Tuhan, haruslah terlebih dahulu dipahami dua hal. Pertama, ia harus terlebih dahulu mengenal asal mula akan kejadian dirinya sendiri. Dari mana, di mana dan bagaimana ia dijadikan?

Kedua, harus terlebih dahulu mengetahui apa sesuatu yang mula-mula dijadikan oleh Allah Swt. Kedua perkara itu menjadi prasyarat kesempurnaan bagi penuntut ilmu tasawuf (salik) dalam mengenal (makrifah) kepada Allah.

Yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah Nur Muhammad Saw lalu dijadikanlah roh dan jasad alam semesta. Roh (dan roh manusia) diciptakan Allah, sedangkan jasad manusia diciptakan mengikut kepada dan dari jasad Nabi Adam as.

Karena itu, Nabi Muhammad Saw nenek moyang roh, sedangkan Nabi Adam as adalah nenek moyang jasad. Hakikat dari penciptaan Adam as sendiri berasal dari tanah, tanah berasal dari air, air berasal dari angin, angin berasal dari api, dan api berasal dari Nur Muhammad.

Pada prinsipnya roh manusia diciptakan dari Nur Muhammad, jasad atau tubuh manusia pun hakikatnya berasal dari Nur Muhammad. Jadilah kemudian cahaya di atas cahaya (QS An-Nuur 35). Di mana roh yang mengandung Nur Muhammad ditiupkan kepada jasad yang juga mengandung Nur Muhammad. Bertemu dan meleburlah kemudian roh dan jasad yang berisikan Nur Muhammad ke dalam hakikat Nur Muhammad yang sebenarnya.

Bersumber pada satu wujud dan nama yang sama, maka roh dan jasad tersebut haruslah disatukan dengan mesra menuju kepada pengenalan Yang Maha Mutlak. Zat Wajibul Wujud yang memberi cahaya kepada langit dan bumi, dan yang semula menciptakan, sebagaimana mesranya hubungan antara air dan tumbuhan. Di mana ada air di situ ada tumbuhan, dan dengan airlah segala makhluk dihidupkan (QS Al-Anbiya 30).

Guru Sekumpul menjelaskan bahwa Nur Muhammad sumber segala penciptaan berikutnya. Syarat dan jalan untuk makrifah kepada Allah. Pengetahuan terhadap Nur Muhammad merupakan ilmu yang sempurna.

Bagaimana pandangan tokoh sufi terhadap Nur Muhammad? Dalam kitab asalnya, yakni Hikayat Nur Muhammad diceritakan bahwa tubuh manusia (anak Adam) mengandung tiga unsur, yakni jasad, hati dan roh. Di dalam roh terdapat hakikat, tersimpan rahasia yang dinamakan makrifah Allah.

Di dalam makrifah ada zat yang tidak menyerupai sesuatu pun. Rahasia atau makrifah Allah itu dinamakan insan kamil. Insan Kamil dijadikan dari nur yang melimpah dari zat Haqq Taala.

Al Hallaj yang mencetuskan teori hulul menyatakan bahwa Nur Muhammad mempunyai dua bentuk, yakni Nabi Muhammad yang dilahirkan dan menjadi cahaya rahmat bagi alam dan yang berbentuk nur.

Nur Muhammad adalah cahaya semula yang melewati dari Nabi Adam ke nabi yang lain bahkan berlanjut kepada para imam maupun wali. Cahaya melindungi mereka dari perbuatan dosa (maksum) dan mengaruniai mereka dengan pengetahuan tentang rahasia ketuhanan.

Allah menciptakan Nur Muhammad jauh sebelum diciptakan Adam as. Lalu, Allah menunjukkan kepada para malaikat dan makhluk lainnya. “Inilah makhluk Allah yang paling mulia”.

Oleh karena itu, harus dibedakan antara konsep nur (Muhammad) sebagai manusia biasa (seorang nabi) dan nur muhammad secara dimensi spiritual yang tidak dapat digambarkan dalam dimensi fisik dan realita.

Menurut sufi, Muhyiddin Ibn Arabi penulis kitab Futuhal Makkah, Nur Muhammad sebagai prinsip aktif di dalam semua pewahyuan dan inspirasi. Melalui nur itu pengetahuan yang kudus itu diturunkan kepada semua nabi, tetapi hanya kepada roh Muhammad saja diberikan jawami al qalim (firman universal).

Sedangkan menurut pencetus teori insan kamil, Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428 M) menyatakan bahwa lokus tajalli al-Haq yang paling sempurna adalah Nur Muhammad. Ada sebelum alam ini ada, ia bersifat qadim lagi azali.

Nur Muhammad berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh, Ibrahim, Musa hingga dalam bentuk nabi penutup, Muhammad Saw.

Membandingkan apa-apa yang digambarkan oleh Guru Sekumpul berkenaan dengan Nur Muhammad dengan uraian ulama terdahulu, tampaknya tidak jauh berbeda sebagaimana pandangan umum para sufi dalam melihat Nur Muhammad sebagai yang terawal diciptakan kemudian menjadi sumber segala penciptaan.

Di samping itu, menurut Guru Sekumpul maqam Nur Muhammad adalah maqam paling tinggi dari pencarian dan pendakian sufi menuju makrifah kepada Allah. Tiada lagi maqam atau stasiun paling tinggi sesudah itu. Oleh karena itu, berbahagialah orang-orang yang dapat menyandingkan penyatuan sumber asal mula penciptaannya dalam satu harmoni, yakni Nur Muhammad.

* Pengurus Lembaga Kajian Islam, Sejarah, dan Budaya Banjar

Tinggalkan sebuah Komentar

Datu Kalampayan

Kumpulan beberapa tulisan ZULFAJAMALIE DAN LAINNYA
Islam di Tanah Banjar
Bermakna, Berbagi, dan Meyakini.
Rabu, Juli 30, 2008 by Zulfajamalie
PERJUANGAN AL-BANJARI MEMBERSIHKAN DAN MENJAGA TAUHID URANG BANJAR
Pengantar
Kebesaran, keilmuan, ketokohan, jasa, dan perjuangan Al-Banjari mendakwahkan Islam di Bumi Kalimantan tidak diragukan lagi. Jejak emas dan khazanah pemikiran keagamaan dan kemasyarakatan yang beliau tinggalkan hingga sekarang menjadi teladan dan inspirasi untuk membangun masyarakat. Popularitas Al-Banjari tidak hanya di Bumi Kalimantan ataupun Tanah Melayu, akan tetapi juga Asia Tenggara. Tahun ini adalah haul Al-Banjari yang ke-201 tahun. Terobosan apa yang bisa kita lakukan untuk menggali dan mewariskan keilmuan, perjuangan, serta semangat keislaman Al-Banjari?
Untuk membumikan Islam, bidang garapan dakwah Al-Banjari menyentuh banyak persoalan, mulai bidang keagamaan, kemasyarakatan, hingga kenegaraan. Salah satu bidang keagamaan yang menjadi perhatian Al-Banjari adalah masalah ketauhidan (keimanan), terkait dengan berbagai upacara, kepercayaan, dan ritual yang dilakukan oleh masyarakat Banjar pada masa dulu. Bagaimana upaya Al-Banjari dalam membersihkan dan menjaga ketauhidan urang Banjar? Inilah yang menjadi fokus dari tulisan berikut.

Menjaga Ketauhidan
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Al-Banjari untuk meluruskan keimanan dan menjaga ketauhidan orang Islam Banjar dari segala hal yang membawa kemusyrikan, di antaranya:
Pertama, menyampaikan dakwah lisan secara tegas dan jelas kepada seluruh kelompok masyarakat melalui aktivitas dakwahnya. Baik dengan menjelaskan berbagai hal yang terkait dengan ketauhidan, hal-hal yang dapat merusak ketauhidan, upaya meningkatkan, sekaligus menjaga ketauhidan dari perilaku-perilaku yang membawa kesyirikan. Al-Banjari bahkan melibatkan pula kelompok istana untuk mendukung dakwahnya. Terutama ketika Al-Banjari menjelaskan dan menegaskan hukum upacara tradisional manyanggar banua dan mambuang pasilih yang biasa dilakukan oleh masyarakat Banjar yang masih terpengaruh oleh keyakinan nenek moyang saat itu.
Upacara manyanggar banua adalah semacam upacara bersih desa (di Jawa dikenal dengan istilah upacara ruwatan), maksudnya agar desa selamat dari marabahaya dan mendapat kesejahteraan (kemakmuran) bagi penduduknya. Sedangkan upacara mambuang pasilih merupakan semacam upacara memberi sesaji kepada roh halus (roh nenek moyang) dengan maksud agar mendapat bantuannya dalam kehidupan, seperti menyembuhkan penyakit, membawa keselamatan, menghilangkan sial, dan mensukseskan segala permintaan. Komunikasi dengan roh tersebut dilakukan melalui seseorang (dukun) yang kesurupan, karena dimasuki oleh roh halus tersebut dalam jasadnya, sehingga bisa berbicara dengan mereka untuk mengetahui segala permintaan yang disampaikan oleh roh halus tersebut. Permintaan roh itu dipenuhi dengan sesaji yang telah disajikan melalui upacara tertentu.
Menurut Al-Banjari, upacara manyanggar banua dan mambuang pasilih, hukumnya adalah bid’ah dhalalah yang amat keji, wajib atas orang yang mengerjakannya segera taubat daripadanya, dan wajib atas segala raja-raja dan orang besar menghilangkan dia, karena yang demikian itu daripada pekerjaan maksiat yang mengandung kemunkaran.
Menurut Al-Banjari ada tiga macam kemunkaran yang terdapat dalam kedua upacara tersebut. Pertama, membuang-buang harta pada jalan yang diharamkan sama dengan mubazir, orang yang mubazir adalah teman setan, sebagaimana ditegaskan oleh QS. Al-Israa 27. Kedua, dalam upacara tersebut terkandung makna mengikuti setan dengan memenuhi segala permintaannya, padahal dalam Alquran tegas-tegas dinyatakan larangan untuk mengikuti setan, misalnya dalam QS. Al-Baqarah 208. Ketiga, dalam kedua upacara tersebut sudah memenuhi atau mengandung unsur kemusyrikan (perbuatan syirik) dan bid’ah sayyi’ah yang dilarang karena bertentangan dengan ajaran Islam.
Dilihat dari segi akidah, hukum dari kedua upacara tersebut menurut Al-Banjari dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Bila diyakini bahwa tidak tertolak bahaya kecuali dengan upacara atau dengan kekuatan yang ada pada upacara tersebut, maka hukumnya kafir.
2. Bila diyakini bahwa tertolaknya bahaya adalah karena kekuatan yang diciptakan Allah pada kedua upacara tersebut, maka hukumnya bid’ah lagi fasik, tetapi tetap hukumnya kafir menurut ulama.
3. Bila diyakini bahwa kedua upacara tersebut tidak memberi bekas, baik dengan kekuatan yang ada padanya maupun dengan kekuatan yang dijadikan Tuhan padanya, tetapi Allah jua yang menolak bahaya itu dengan memberlakukan hukum kebiasaan (hukum adat) dengan kedua upacara tersebut, maka hukumnya tidak kafir, tetapi hukumnya bid’ah saja. Namun bila diyakini bahwa kedua upacara itu halal atau tiada terlarang maka hukumnya juga kafir.
Dalam memberantas upacara-upacara tradisional seperti tersebut di atas, Al-Banjari tidak saja memberikan keputusan hukum seperti telah diuraikan, dia juga berusaha mematahkan segala argumen yang mungkin ataupun dikemukakan oleh para pelakunya untuk membenarkan apa yang telah mereka lakukan dalam upacara tersebut. Secara dialogis, Al-Banjari menggambarkan hal itu dalam kitabnya Tuhfah al-Raghibin, antara lain dijelaskan sebagai berikut:
1. Para pelaku mengatakan bahwa mereka hanya memberi makan manusia yang gaib (tidak mati) pada zaman dahulu dari kalangan raja-raja. Mereka itu diberi makan dengan warna makanan yang disajikan, sehingga tidak mubazir. Dengan itu mereka mengatakan bahwa mereka tidak meminta tolong untuk minta bantuannya dalam kehidupan ini. Untuk alasan ini, Al-Banjari menjawab bahwa alasan seperti itu tidak berdasarkan pada Alquran, hadits, atau pendapat ulama, tetapi hanya berdasarkan pada mitos saja, yang tidak bisa diperpegangi oleh umat Islam dalam keyakinannya. Justru itu tidak boleh dikerjakan meskipun sesaji yang yang diletakkan di tempat manyanggar itu dimakan manusia atau binatang, maka tetap saja hukumnya haram dan bid’ah, karena mubazir dan kebid’ahannya.
2. Para pelaku memang beralasan dengan dasar mitos atau dari orang yang kasarungan (kerasukan) manusia-manusia gaib yang mengharuskan mereka melakukannya. Al-Banjari menegaskan bahwa kedua dasar itupun tidak bisa diterima. Mitos tidak bisa digunakan sebagai dalil keyakinannya, sedangkan yang manyarung tersebut adalah setan yang selalu membisikkan hal-hal yang negatif bagi agama. Sebab, hanya malaikat dan setan yang bisa manyarungi manusia, sedangkan malaikat selalu membisikkan hal-hal yang baik menurut agama, sebagai kebalikan dari seruan setan. Demikianlah penjelasan dari hadits Nabi yang dikutip Al-Banjari.
3. Para pelaku mengatakan pula bahwa yang mereka beri makan itu adalah setan juga, tetapi memberi makan mereka itu adalah seperti memberi makan kepada anjing, jadi suatu perbuatan yang mubah. Al-Banjari menjawab bahwa alasan itupun tidak logis, karena yang dikatakan itu tidak sesuai dengan yang ada dalam hati di mana mereka sangat menghormat kepada setan itu dengan bukti pemberian makanan tersebut yang penuh dengan keindahan dan makanan-makanan yang istimewa.
Mulai dari pendekatan hukum syar’i dan pendekatan akidah terhadap upacara-upacara tradisional yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat, sampai kepada dialognya dengan para pelaku upacara untuk meruntuhkan argumentasi mereka yang membenarkan upacara tersebut, tampak sekali adanya pemikiran Al-Banjari tentang pemurnian akidah, yang diusahakannya sendiri dalam pelaksanaannya, di samping minta partisipasi para kaum bangsawan dan pembesar negeri untuk memberantasnya. Tindakan Al-Banjari yang terakhir ini memang tepat, sebab yang banyak melakukan upacara-upacara tersebut adalah dari kalangan kaum bangsawan, di mana dia sendiri termasuk dalam lingkungan masyarakat tersebut.
Kedua, mengirim, mengutus, dan menyebarkan kader-kader dakwah keberbagai daerah untuk menjadi penyuluh masyarakat. Kader dakwah yang telah dididik oleh Al-Banjari dengan ilmu-ilmu agama ini terdiri dari anak cucu dan murid-muridnya menjadi agen dakwah yang penting untuk lebih menyebarluaskan dan memeratakan dakwah Islam ke berbagai kelompok masyarakat dan pelosok daerah. Sehingga dengan upaya tersebut, akselarasi dakwah semakin luas dan terbuka. Melalui mereka ini pulalah, peningkatan dan pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam dan keimanan semakit ditingkatkan.
Ketiga, untuk lebih menguatkan dakwah lisannya tersebut, Al-Banjari juga menulis dan membahas hal-hal penting tentang keimanan (ketauhidan) dalam kitabnya yang berjudul Tuhfah ar-Raghibin min haqiqatil Imani wa Yufsiduhu.
Kitab ini ditulis oleh Al-Banjari pada tahun 1188 H (1774 M) dan pernah diterbitkan di Mesir pada 1353 H. Pernah terjadi perdebatan di antara kalangan tertentu berkenaan dengan kitab ini, yang mempersoalkan apakah karya tulis Al-Banjari atau Al-Palimbani. Misalnya, dalam disertasi (yang kemudian dijadikan buku “Mengenal Allah Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syekh Abdus Samad AI-Palimbani”), M. Chatib Quzwaini menyatakan bahwa kitab ini bukan tulisan Al-Banjari, tetapi tulisan dari sahabatnya, yakni Syekh Abdus Samad Al-Palimbani. Pernyataan dari M. Chatib Quzwaini mendapat sanggahan keras dari berbagai kalangan, terutama dari Wan Mohd. Shagir Abdullah (Pengkaji Naskah Ulama Melayu-Malaysia). Dengan tegas, berdasarkan fakta dan data-data yang ada, Wan Mohd. Shagir Abdullah menyatakan bahwa kitab tersebut adalah karya Al-Banjari, bukan Al-Palimbani. Menurut Shagir Abdullah, pernyataan M. Chatib Quzwaini yang mengutip pendapat dari P. Voorhoeve adalah keliru.
Ada beberapa alasan dan argumentasi yang dikemukakan oleh Wan Mohd Shagir Abdullah ketika membantah kekeliruan pendapat M. Chatib Quzwaini.
1. Dalam tulisan Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani disebutkan: “Maka disebut oleh yang empunya karangan Tuhfatur Raghibin fi Bayani Haqiqati Imanil Mu’minin bagi ‘Alim al-Fadhil al-‘Allamah Syekh Muhammad Arsyad.”
2. Dalam tulisan Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari dalam Syajaratul Arsyadiyah dinyatakan: “Maka mengarang Maulana (maksudnya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari) itu beberapa kitab dalam bahasa Melayu dengan isyarat Sultan yang tersebut, seperti Tuhfatur Raghibin …” Pada halaman lain dinyatakan pula: “Maka Sultan Tahmidullah Tsani ini, ialah yang disebut oleh orang Penembahan Batu, dan ialah yang minta karangkan Sabilul Muhtadin lil Mutafaqqihi fi Amrid Din dan Tuhfatur Raghibin fi Bayani Haqiqati Imani Mu’minin wa Riddatil Murtaddin dan lainnya kepada jaddi (Maksudnya: datukku) Al-‘Alim al-‘Allamah al-‘Arif Billah asy-Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari”.
3. Dalam kitab Tuhfah ar-Raghibin yang diterbitkan oleh percetakan Istanbul dan kemudian dicetak kembali oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, Singapura tahun 1347 H, pada cetakan kedua dinyatakan: “Tuhfatur Raghibin … ta’lif al-‘Alim al-‘Allamah asy-Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari”. Di bawahnya tertulis, “Telah ditashhihkan risalah oleh seorang daripada zuriat muallifnya, yaitu Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad ‘Afif mengikut bagi khat muallifnya sendiri …”. Di bawahnya lagi tertulis: “ini kitab sudah cap dari negeri Istanbul fi Mathba’ah al-Haji Muharram Afandi”.
4. Terakhir sekali Mahmud bin Syekh `Abdurrahman Shiddiq al-Banjari mencetak kitab Tuhfah ar-Raghibin itu disebutnya cetakan yang ketiga, nama Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari tetap dituliskan sebagai pengarangnya.
Berdasarkan alasan di atas, pendapat yang menyatakan bahwa Kitab Tuhfaturraghibin merupakan karya tulis Al-Banjari lebih kuat dan meyakinkan untuk diikuti. Bahkan, jika melihat dari backround kitab tersebut, kita juga bisa simpulkan, betapa kental kultur Banjar yang ada di dalamnya. Ditambah lagi dengan istilah-istilah tertentu yang memang sudah umum dipakai oleh masyarakat Banjar. Karena itu, tidak diragukan lagi, kitab ini memang salah satu karya tulis Al-Banjari.
Kitab Tuhfah ar-Raghibin ini membicarakan masalah tauhid (keimanan). Isinya cukup ringkas, dan terdiri terdiri dari muqaddimah, tiga fasal, dan penutup. Pasal pertama berkenaan dengan hakikat iman, pasal kedua berkenaan dengan perkara-perkara yang merusak keimanan, dan pasal ketiga berkenaan dengan syarat yang menimbulkan murtad dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Tetapi dengan tiga pasal itu sudah dapat dipahami oleh masyarakat, makna tentang keimanan, kemudian hal-hal yang dapat merusak keimanan, baik dari segi membuat perkataan kufur, melakukan perbuatan yang kufur, ataupun keyakinan (i’tikad) yang kufur. Ketiga jenis hal yang merusak keimanan dimaksud, baik dilakukan dengan sengaja, dengan maksud bersenda gurau, ataupun berbantahan.
Menurut Al-Banjari, iman seseorang akan binasa atau rusak karena riddah (murtad). Riddah menurut bahasa berarti kembali dari sesuatu dan menurut syara’ berarti memutuskan Islam dengan perbuatan, perkataan, atau keyakinan yang mengkafirkan. Di antara perbuatan, perkataan, atau keyakinan yang dianggap Al-Banjari mengkafirkan atau membinasakan iman, ada yang hanya bersifat merusak iman zhahir, yaitu menyebabkan tidak diberlakukan hukum Islam terhadap yang memperbuatnya, meskipun dia masih tetap mempunyai iman bathin. Misalmya sujud kepada makhluk dengan menghantarkan dahi ke bumi dan bila tidak diiringi dengan keyakinan membesarkannya seperti Tuhan. Di antaranya ada yang hanya membinasakan kesempurnaan iman seseorang seperti bersalah-salahan sesama Islam lebih dari tiga hari atau tujuh hari, maksudnya tidak bertegur sapa sesama muslim selama itu. Ada pula yang betul-betul merusak iman secara keseluruhan (zahir dan bathin), seperti mengatakan dan mengitikadkan bahwa Allah suatu yang baharu, alam semesta adalah qadim, Allah tidak bersifat tahu, dan sebagainya.
Hal-hal yang dapat merusak atau membinasakan keimanan dimaksud, baik dari dari segi perkataan, perbuatan, atau keyakinan dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, perkataan kufur, yakni perkataan-perkataan yang diucapkan oleh seseorang baik dengan sengaja, bersenda gurau ataupun berbantahan yang bermakna tidak mengakui, mendustakan, menyangsikan (meragukan), menghinakan atau merendahkan hal-hal yang terkait dengan keislaman dan keimanan. Misalnya, berkata bahwa tidak akan mentaati suruhan Allah dan Rasul-Nya, mendustai risalah kenabian, menyangsikan Nabi apakah seorang manusia atau jin, mengecilkan satu anggota nabi dan menghinakannya, mengucap bismillah ketika berbuat maksiat, tidak takut dengan hari kiamat dan menganggapnya sepele, mengucap basmalah waktu akan berbuat maksiat, mengatakan bahwa Allah zalim karena menyuruhnya shalat meskipun sedang sakit, menyerupakan orang zalim dengan malaikat Zabaniyah, menyerupakan orang yang berparas jelek dengan malaikat Munkar dan Nakir, menghalalkan yang diharamkan oleh ijma’ seperti jual beli dan nikah, dan sebagainya.
Kedua, perbuatan kufur dimaksud misalnya, sujud kepada makhkuk dengan meletak dahi ke bumi, menghampirkan diri kepada makhluk dengan menyembelih kambing umpamanya, membuang Quran atau kitab syara’ di tempat najis dan keji, menafikan sifat-sifat dan ilmu Allah, mendustakan nabi dan malaikat, meringankan keduanya atau menyembah keduanya, mendustakan ayat-ayat Alquran, menolak yang diwajibkan dan mewajibkan yang tidak diwajibkan, mengaku diri sebagai nabi dan mengakui kenabian orang lain, mengatakan kafir kepada orang Islam tanpa bukti, dan lain-lain.
Ketiga, i’tikad atau kepercayaan kufur, misalnya, percaya ada Tuhan selian Allah, beriktikad sifat dirinya dekat dengan sifat Allah, beriktikad Allah memberi makan minum kepadanya tiada haram halal lagi, mengaku sampai kepada Allah dengan jalan lain daripada ubudiyyah atau memperhambakan diri kepada-Nya, mengaku dirinya sampai kepada maqam gugur hukum syara‘,membaca Alquran sambil memukul rebana, dan lain-lain.
Melihat banyaknya macam perbuatan, perkataan dan keyakinan yang bisa merusak iman seseorang, sebagaimana yang dideskripsikannya dalam Tuhfah al-Raghibin, maka jelaslah maksud Al-Banjari agar iman dan ketauhidan orang Banjar terjaga dari hal-hal yang dapat menodainya. Lebih dari itu, agar keimanan tersebut juga bersih dan berfungsi secara optimal dalam diri masyarakat. Sehingga dengan penjelasan yang terperinci, menjadi satu pelajaran penting bagi masyarakat dalam mengarahkan dan mengontrol segala tindakannya, perbuatan, perkataan, dan keyakinannya agar tidak melakukan hal-hal yang dapat membinasakan atau merusak keimanan tersebut, namun sebaliknya harus menjaga, memupuk, dan terus meningkatkan kesempurnaan keimanan.

Kesimpulan
Demikianlah, Al-Banjari telah berjuang dan mendakwahkan Islam untuk seluruh masyarakat. Perjuangan dakwah yang panjang, tak kenal lelah dan patut menjadi teladan kita semua, hingga kemudian batasan umur yang telah digariskan sampai. Setelah melakoni hidup, memenuhi kewajiban, dan memperjuangkan dakwah di bawah panji-panji Islam, meletakkan dasar-dasar Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, mewariskan khazanah keilmuan dan pemikiran melalui karya tulisnya, maka pada tanggal 6 Syawal 1227 H dalam usia 105 tahun, Syekh Muhammad Arsyad kembali ke-hadirat Allah Swt. Sesuai dengan amanatnya, beliau kemudian dimakamkan di desa Kalampayan Kecamatan Astambul Martapura.
“Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa” (QS. Yunus 62-63).
(Teriring Salam takzhim untuk Guru H.M. Irsyad Zein Dalam Pagar, Martapura)
Posted by zuljamalie@yahoo.co.id at 17:04:53 | Permanent Link | Comments (0) |
Minggu, September 09, 2007
Matahari Islam Kalimantan
Pengantar

Materi tulisan ini saya himpun ketika Tuan Guru K.H.Muhammad Zaini bin Abdul Ghani alias Guru Sekumpul masih hidup. Isinya merupakan apresiasi saya dalam mengkaji khazanah lokal Islam Kalimantan. Tulisan ini telah saya muat sebagai Epilog dalam buku suntingan saya bertajuk “SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI: MATAHARI ISLAM KALIMANTAN”

SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI
(Matahari Islam Kalimantan )*

Oleh Zulfa Jamalie**
(Pengurus elkisab = Lembaga Kajian Islam, Sejarah, dan Budaya Banjar)

Jika disebutkan nama Datu Kalampayan atau Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari tentu semua orang Banjar, terutama mereka yang berdiam di kawasan Kalimantan mengetahui siapa beliau. Ya, bagi masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan), Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah icon peradaban dan perkembangan keislaman. Melalui jasa beliaulah Islam tersebar secara kepada masyarakat luas. Kealiman, aktivitas, dan produktivitasnya dalam berkarya dan berdakwah telah meninggalkan khazanah yang serasa tak pernah habis digali oleh generasi sekarang. Wajar jika kemudian Wan Mohd. Wan Shagir Abdullah (pengkaji naskah ulama Melayu) menjulukinya sebagai “Matahari Islam Nusantara”, K.H. Saifuddin Zuhri (mantan Menteri Agama RI periode 1962-1967) menjulukinya “Mercusuar Islam Kalimantan” oleh Gubernur Hindia Belanda di Batavia, ia dijuluki “Tuan Haji Besar”, dan bahkan Azyumardi Azra (1998: 251) memposisikannya sebagai orang yang memiliki peran penting dalam jaringan ulama nusantara, seorang ulama yang mula-mula mendirikan lembaga-lembaga Islam, dan mengenalkan gagasan-gagasan baru keagamaan di Kalimantan Selatan dalam seluruh bidang kehidupan masyarakat.
Syekh Muhammad Arsyad, putra terbaik Banjar ini dilahirkan pada tanggal 15 Shafar 1122 H atau 19 Maret 1710 M. Karena kecerdasan, bakat, dan kecakapannya membuat Sultan Banjar (Sultan Tahmidullah bin Sultan Tahlilullah) tertarik sehingga mengajaknya untuk tinggal di istana, ketika ia berumur lebih kurang 8 tahun. Kemudian, oleh Sultan Banjar, setelah dewasa (usia 30 tahunan) ia diberangkatkan ke Mekkah untuk menuntut dan memperdalam ilmu agama, setelah sebelumnya dinikahkan dengan perempuan istana, Tuan Bajut. Selama di Mekkah, Syekh Muhammad Arsyad tinggal di sebuah rumah yang khusus dibelikan oleh Sultan Banjar, terletak di kampung Samiyyah, yang kemudian dikenal sebagai Barhat Banjar. Di Haramain (Mekkah-Madinah), Al-Banjari belajar kepada sejumlah guru terkemuka, di antara guru-gurunya yang terkenal adalah, Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri, Abdul al-Mun’im al-Damanhuri, Ibrahim bin Muhammad al-Ra’is al-Zamzami al-Makki, dan lain-lain.
Setelah melakoni belajarnya selama lebih kurang 30 tahun di Mekkah dan 5 tahun di Madinah, maka Syekh Muhammad Arsyad pun kembali ke Banua pada bulan Desember 1772 M (Ramadhan 1186 H bersama-sama dengan anak menantu sekaligus sahabatnya Syekh Abdul Wahab Bugis. Pada saat itu yang memerintah di Kerajaan Banjar adalah Pangeran Nata Dilaga bin Sultan Tamjidullah, sebagai wali putera mendiang Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1761-1787 M), yang kemudian sejak tahun 1781-1801 secara resmi memerintah sebagai Raja Banjar dan bergelar Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah.
Dengan dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi daerah tempat ia menuntut ilmu (Mekkah dan Madinah), membuat Al-Banjari tanggap dan kaya dengan pikiran-pikiran keagamaan dan kemasyarakatan, sehingga begitu kembali dan tiba di tanah air, Al-Banjari aktif berdakwah untuk membangun masyarakat Banjar melalui tiga bidang kegiatan, yakni bidang keagamaan, bidang sosial-kemasyarakatan, dan bidang kenegaraan.
Pertama, bidang keagamaan, adalah kegiatan-kegiatan yang secara khusus berhubungan langsung dengan masalah-masalah keagamaan. Di mana di samping mengajar dan mendidik anak, cucu, dan para muridnya, Syekh Muhammad Arsyad juga pergi berdakwah (“metode jemput bola”) kepada semua lapisan masyarakat, baik rakyat biasa maupun di kalangan para bangsawan dan kerajaan. Dalam konteks ini, strategi dakwah yang ia gunakan adalah menyatu dengan kelompok subjek dakwah, menggiatkan kaderisasi dan regenerasi juru dakwah, serta berusaha mewujudkan kesejahteraan hidup masyarakat dan mengikutsertakan pengaruh/kekuasaan kerajaan.
Melalui kegiatan pendidikan dan kaderisasi, Syekh Muhammad Arsyad berhasil mencetak kader-kader muda yang handal, di antaranya adalah Fatimah dan Muhammad As’ad. Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis ini adalah cucu perempuan pertama Syekh Muhammad Arsyad yang telah mewarisi ilmu-ilmu keislaman dari ayah dan kakeknya, ia dapat menguasai berbagai bidang ilmu, seperti Ilmu Arabiyah, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ushuluddin, Fikih, dan sebagainya dengan baik. Sehingga kemudian bersama-sama dengan saudaranya seibu Muhammad As’ad bin Usman, mereka di kenal sebagai “bunga ilmu” Tanah Banjar. Jika Muhammad As’ad menjadi guru bagi kaumnya, maka Fatimahpun menjadi seorang guru bagi kaum perempuan yang ingin belajar ilmu agama di zamannya. Fatimah pulalah yang sebenarnya telah menyusun kitab fikih berbahasa Melayu yang sangat populer, yakni Parukunan, namun nama yang dipakai sebagai penulis kitab ini bukan nama dia, tetapi nama pamannya, yakni Mufti H. Jamaluddin, sehingga kitab ini populer dengan nama Parukunan Jamaluddin. Kitab Parukunan ini pertama kali diterbitkan di Mekkah dan Singapura tahun 1318 H, dan dicetak ulang di Bombay, terakhir di Indonesia , hingga sekarang. Kitab Parukunan ini populer dan telah dipelajari oleh orang-orang Islam Melayu sebagai dasar pelajaran agama, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Malaysia, Philipina, Vietnam, Kamboja, dan Burma (Zafri Zamzam, 1979).

Dakwah yang beliau sampaikan tidak hanya secara lisan, akan tetapi juga melalui tindakan (action) nyata yang bisa dilihat dan dicontoh oleh masyarakat, bahkan melalui dakwah bil-qolam (karya tulis), beliau telah menuliskan berbagai pemikiran keagamaan yang menjadi tuntunan masyarakat untuk memahami secara lebih luas tentang agamanya, sehingga karya tulis itu sampai sekarang masih relevan dikaji dan dipelajari, sepeti kitab Sabil al-Muhtadin, Kanz al-Ma’rifah, Tuhfaturraghibin, dan lain-lain. Sehingga, melalui semua ini beliau juga berhasil membentuk masyarakat Islam Banjar yang memiliki kesadaran untuk berpegang pada ajaran agama Islam melalu dakwah bil-lisan, bil-kitabah, dan bil-hal, serta diteruskan kemudian oleh generasi dan kader-kader yang telah dibina melalui upaya pengiriman juru dakwah ke berbagai daerah yang masyarakatnya sangat memerlukan pembinaan agama. Dari sini akhirnya dakwah terus berkembang dan ajaran Islam semakin tersebar luas ke tengah-tengah masyarakat Banjar.

Kedua, bidang sosial-kemasyarakatan, antara lain aktivitas dakwah Syekh Muhammad Arsyad dapat dikaji melalui kegiatannya membuka perkampungan baru Dalam Pagar, membuat irigasi, dan penataan pembangunan rumah yang berwawasan lingkungan.

Kampung Dalam Pagar semula hanyalah tanah kosong semak belukar terletak di pinggiran sungai Martapura, yang diberikan kepada Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang memang berhak mendapatkannya selaku bubuhan kerajaan. Tanah ini disebut dengan istilah tanah lungguh. Kemungkinan dipilihnya lokasi pinggiran sungai adalah untuk memudahkan transportasi dan komunikasi dengan daerah lain, sebab waktu itu sungai merupakan sarana transportasi yang paling utama, di samping sebab yang lain, seperti pemanfaatan potensi sungai untuk pengairan sawah dan perkebunan, untuk kebutuhan hidup sehari-hari, sebagai sumber usaha (mencari ikan), dan lain-lain. Melalui usaha Al-Banjari, Dalam Pagar kemudian benar-benar menjelma menjadi daerah yang strategis, dan tidak mengherankan jika kemudian dalam waktu yang singkat daerah yang telah di bangun oleh Syekh Muhammad Arsyad dibantu oleh menantu (Syekh Abdul Wahab Bugis), anak dan cucunya ini berkembang menjadi pemukiman penduduk yang ramai, pusat penyebaran dan pendidikan Islam, mercusuar perkembangan ilmu-ilmu keislaman, serta menjadi locus dan kawah candradimuka paling penting untuk mendidik serta mengkader para murid yang kemudian hari menjadi ulama terkemuka di kalangan masyarakat Kalimantan, di samping pula menjadi daerah pertanian yang subur (lumbung padi) pada saat itu. Sekarang Kampung Dalam Pagar termasuk daerah Kecamatan Martapura dan terbagi menjadi dua desa, yakni Kampung Dalam Pagar dan Kampung Dalam Pagar Ulu.
Di Dalam Pagar pulalah kemudian Syekh Muhammad Arsyad bersama dengan anak menantu membangun surau, rumah tempat tingga sekaligus mandarasah (madrasah), yang menjadi tempat untuk belajar masyarakat, mengkaji dan menimba ilmu, sekaligus tempat untuk mendidik untuk dan membina kader-kader penerus dakwah Islam. Hal ini menjadi penanda awal lahirnya sistem pendidikan secara kelembagaan di Kalimantan Selatan, yang dikenal dengan sistem pondok pesantren. Sebab adanya unsur-unsur penting sistem pondok pesantren seperti kyai, asrama atau pondok, masjid atau surau, pola pengajaran dan pengajian kitab kuning yang memakai metode sorogan dan halaqah (kaji duduk) menjadi penanda aktivitas pendidikan di Dalam Pagar ini, karena itu boleh jadi inilah pesantren pertama yang pernah ada di bumi Kalimantan.
Mandarasah, adalah pusat pendidikan Islam yang serupa ciri-cirinya dengan surau di Padang Sumatera Barat, rangkang, meunasah dan dayah di Aceh, atau pesantren di Jawa. Bangunan tersebut terdiri dari ruangan-ruangan untuk belajar, pondokan tempat tinggal para santri, rumah tempat tinggal Tuan Guru atau kyai, dan perpustakaan. Oleh Humaidy (2003) lembaga pendidikan Islam ini, sebagaimana istilah yang biasa dipakai di kawasan dunia Melayu, seperti Riau, Palembang, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Fattani (Thailand) disebut punduk. Menurut Humaidy, walaupun mandarasah atau punduk, yang dibangun oleh Syekh Muhammad Arsyad itu serupa ciri-cirinya dengan pesantren di Jawa namun hal ini bukan berarti sama. Sebab punduk memiliki perbedaan yang jelas dengan pesantren, seperti proses pemunculannya yang lebih bernuansa Timur Tengah, punduk tidak didirikan semata-mata oleh Tuan Guru atau Kyai, tetapi atas partisipasi seluruh masyarakat sehingga punduk tidak mutlak milik Tuan Guru sendiri, di dalam punduk Tuan Guru tidak memiliki kuasa penuh terhadap santrinya, punduk tidak mengharuskan santri hanya mengkaji ilmu pada seorang Tuan Guru, tetapi bisa sekaligus kepada beberapa orang, Tuan Guru dan punduk menyatu dengan masyarakat luar komunitas mereka.
Syekh Muhammad Arsyad juga seorang petani yang handal, hal ini terlihat dari keberhasilan usaha beliau membuka persawahan dan perkebunan di Kalampayan, dekat Lok Gabang. Daerah ini semula hanyalah merupakan lahan rawa “tidur” yang sangat luas dan belum dimanfaatkan, karena selalu tergenang air, sebab tidak ada saluran pembuangan air (kanal). Maka untuk kepentingan masyarakat banyak serta dalam rangka meningkatkan tarap hidup mereka melalui usaha pertanian, beliau kemudian membuat saluran air sepanjang 8 kilometer. Selanjutnya, oleh masyarakat tabukan sungai yang dibuat ini kemudian disebut “Sungai Tuan”, (dan sekarang jadi satu nama kampung; Kampung Sungai Tuan) untuk memberikan penghormatan kepada beliau.
Di samping itu beliau secara taktis juga memberi contoh kepada masyarakat, bagaimana membangun rumah yang yang baik, berwawasan lingkungan dan berdasarkan hitungan yang matang, dari segi lokasi maupun posisi sehingga terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, baik banjir ataupun gangguan binatang.
Ketiga, bidang kenegaraan, di mana melalui hubungan kekerabatan, akses yang luas ke dalam Istana, serta keberhasilannya dalam membangun dan menggerakan masyarakat memicu simpatik Sultan Banjar (Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidillah) untuk memberikan keleluasaan kepada Syekh Muhammad Arsyad untuk lebih memantapkan dan mengembangkan Islam di Tanah Banjar secara melembaga, agar agama Islam benar-benar menjadi way of life, keyakinan dan pegangan masyarakat Banjar khususnya, dan Kalimantan umumnya.
Pada akhirnya, Sultanpun berkeinginan pula untuk menertibkan dan menyempurnakan peraturan yang telah dibuat berdasarkan hukum Islam, wadah atau badan yang menjaga agar kemurnian hukum dapat diterapkan, dan yang lebih penting lagi adalah agar roda pemerintahan di kerajaan benar-benar dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tuntunan agama. Sehingga bermula dari sinilah kemudian timbul lembaga-lembaga dan jabatan-jabatan keislaman dalam pemerintahan, semacam Mahkamah Syar’iyah, yakni Mufti dan Qadli. Mufti adalah sebuah istilah jabatan yang berarti hakim yang tertinggi, pengawas peradilan pada umumnya. Di bawah Mufti ada Qadli, yaitu pelaksana hukum dan pengatur jalannya pengadilan agar hukum berjalan dengan wajar dan benar. Mufti memimpin sebuah Mahkamah Syar’iyah, guna mengawasi pengadilan umum (masyarakat). Pejabat Mufti adalah orang yang betul-betul alim ilmu agama dan mengerti seluk-beluk hukum Islam secara mendalam. Sedangkan secara kelembagaan, Mufti adalah suatu lembaga yang bertugas memberikan nasihat atau fatwa kepada sultan masalah-masalah keagamaan, jabatan mufti kerjaan Banjar yang pertama dipegang oleh H. Muhammad As’ad bin Usman (cucu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari). Sedangkan qadli adalah mereka yang mengurusi dan menyelesaikan segala urusan hukum Islam, terhadap masalah perdata, pernikahan, dan waris, jabatan qadli yang pertama dipegang oleh H. Abu Su’ud bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Sampai akhirnya Syariat Islam diterapkan sebagai hukum resmi yang mengatur kehidupan masyarakat Islam di tanah Banjar pada masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah (1825-1857 M), yang dikenal dengan nama Undang-Undang Sultan Adam (UUSA). UUSA ini ditetapkan pada tanggal 15 Muharram 1251 H atau tahun 1835 M, kemudian seiring dengan terjadinya perebutan kekuasaan dalam kerajaan Banjar akibat campurtangan Belanda tahun 1857 sesudah wafatnya Sultan Adam, dan berujung pada dihapuskannya kerajaan pada tahun 1860 oleh Belanda, maka pada waktu itu pula pemberlakukan UUSA dihapuskan dari seluruh wilayah Tanah Banjar.
Dibentuk dan diberlakukannya UUSA ini bertujuan untuk mengatur agar kehidupan beragama masyarakat menjadi lebih baik, mengatur agar akidah masyarakat lebih sempurna, mencegah terjadinya persengketaan, dan untuk memudahkan para hakim dalam menetapkan status hukum suatu perkara.
UUSA ini antara lain berisikan, Pasal 1 sampai dengan pasal 2 berbicara tentang dasar negara yakni Islam yang Ahlus Sunnah wal Jamaah, pasal 4 sampai dengan pasal 22 menerangkan peraturan dalam peradilan berdasarkan mazhab Syafi’i, pasal 23 sampai pasal 27 berbicara tentang hukum tanah garapan, penjualan tanah, penggadaian, peminjaman dan penyewaan tanah yang harus dilakukan secara tertulis, serangkap di tangan hakim dan serangkap lagi di tangan yang berkepentingan. Gugatan terhadap tanah yang terjadi sebelum diberlakukan undang-undang dapat diajukan sebelum duapuluh tahun semenjak undang-undang ditetapkan, sedang tanah atau kebun yang terjual atau telah dibagi kepada ahli waris, dapat digugat selama sepuluh tahun dari tahun penjualan atau pembagian sampai undang-undang diberlakukan. Orang yang menang dalam perkara tidak boleh mengambil sewa selama berada di tangan tergugat.
Demikianlah, setelah melakoni hidup, memenuhi kewajiban, dan perjuangan dakwah di bawah panji-panji Islam, meletakkan dasar-dasar Islam dalam kehidupan masyarakat dan negara, mewariskan khazanah keilmuan dan pemikiran melalui karya tulisnya, maka pada tanggal 6 Syawal 1227 H bertepatan dengan tanggal 13 Oktober 1812 M pada usia 105 tahun, Syekh Muhammad Arsyad kembali ke-hadirat Allah SWT.
Kesimpulan, melalui usaha bidang keagamaan Syekh Muhammad Arsyad telah meninggalkan sejumlah warisan berharga (ide, pemikiran, karya tulis) untuk dikaji dan dipelajari oleh para cendikiawan keagamaan. Melalui usaha bidang sosial-kemasyarakatan Al-Banjari meninggalkan sejumlah karya nyata (atsar) yang berguna untuk masyarakat luas dan bisa ditiru oleh change agent, social worker, community developmentalist, untuk membangun, menggerakan, serta memberdayakan masyarakat melalui berbagai pendekatan yang arif bijaksana, berwawasan sosial, budaya dan lingkungan. Dan melalui usaha bidang kenegaraan Al-Banjari juga telah meninggalkan khazanah berharga tentang penerapan sistem dan perundang-undangan Islam sebagai sistem yang paling sempurna guna mengatur kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa pada masa sekarang, besok, dan masa akan datang.

Catatan:
* Haul ke198 Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tahun ini dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 7 Syawal 1425 H, bertepatan dengan tanggal 20 Nopember 2004, dipusatkan di Masjid Tuhfaturraghibin Dalam Pagar Martapura. Menandai haul ke-198 ini oleh Menteri Agama RI (H.M.Maftuh Basuni) diresmikan Museum Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang berisikan sejumlah benda peninggalan beliau serta kitab-kitab karya tulis beliau, seperti Sabil al-Muhtadin, Mushaf Alquran, Tuhfah ar-Raghibin, dan lain-lain.
**Salam takzhim untuk Tuan Guru Sekumpul dan Ustadz K.H. M. Irsyad Zein Dalam Pagar Martapura

Posted by zuljamalie@yahoo.co.id at 15:46:50 | Permanent Link | Comments (0) |
Cari

*

my advertisement
zuljamalie@yahoo.co.id

* Location:Banjar

Tag Cloud

* Ulama Banjar
* Ramadhan
* Guru Sekumpul
* Sultan Banjar
* Datu Kalampayan

My Music
Komentar terakhir

* You are thinking, lots of hard work, much clearer, super pro
* great capture,beautiful composition with rich colours.
* Thanks so very much for taking your time to create this very
* Tidak ada komentar, mohon di kirimkan copy kitab Barencong
* Kepada pembaca blog ini dipersilakan pula untuk membaca tuli
* Terimakasih atas apresiasi anda, sayangnya, sampai saat ini
* Ma’af kami tidak memberikan komentar tapi minta infomasinya

Blogroll

* Cahaya-Sufi
* Islam-Banjar

May, 2009
Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat
26 27 28 29 30 1 2
3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16
17 18 19 20 21 22 23
24 25 26 27 28 29 30
31 1 2 3 4 5 6
Arsip

* Juli – 2008
* September – 2007

* Random Blog

Tinggalkan sebuah Komentar

Guru Sakumpul

Islam di Tanah Banjar
Bermakna, Berbagi, dan Meyakini.
Rabu, Juli 30, 2008
ABAH FALAK BOGOR DAN ABAH GURU SEKUMPUL
Berturut-turut untuk mengenang dan haul Tuan Guru Al-‘Alimul Fadhil H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari atau Guru Sekumpul, saya telah mempublikasikan 2 tulisan tentang beliau, yakni: “MENGENANG 1 TAHUN WAFATNYA GURU SEKUMPUL” dan “MEMBACA KEILMUAN, KEULAMAAN, DAN KETELADANAN GURU SEKUMPUL”. Berikut apresiasi saya memperingati haul tahun ke-3 wafatnya Guru Sekumpul, bertepatan dengan 5 Rajab 1429 H ─ 8 Juli 2008 M.
Dalam buku berjudul ‘Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Tuan Haji Besar)’, dinyatakan bahwa Guru Sekumpul telah mendapatkan sanad berbagai bidang ilmu dan tarekat dari berbagai orang guru, salah seorang di antaranya adalah dari K.H. Falak Bogor. Bahkan dikatakan pula bahwa K. H. Falak Bogor adalah “Guru Khusus dan guru pertama secara rohani” dari Guru Sekumpul: “Guru pertama secara rohani Guru sekumpul adalah Al-‘Alimul ‘allamah Ali Junaidi (Berau) bin ‘Alimul Fadhil Qadhi H. Muhammad Amin bin ‘Alimul ‘allamah Mufti H. Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad, dan ‘Alimul ‘allamah H. Muhammad Syarwani Abdan (Bangil). Kemudian ‘Alimul ‘allamah H. Muhammad Syarwani Abdan menyerahkan kepada Kyai Falak Bogor dan seterusnya Kyai Falak menyerahkan kepada ‘Alimul ‘allamah Asy-Syekh As-Sayyid Muhammad Amin Qutby, kemudian beliau menyerahkan kepada Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang selanjutnya langsung dipimpin oleh Rasulullah Saw (Abu Daudi, 1996: 145-146).
Siapakah K.H. Falak Bogor? Tulisan singkat ini mencoba membutiri kembali informasi tentang sosok K.H. Falak Bogor.
Semasa hidupnya, K.H. Falak Bogor atau populer dengan sebutan Abah Falak dikenal sebagai seorang ulama yang dermawan. Banyak orang yang datang kepada beliau untuk meminta tolong dan beliau selalu memberikan pertolongan kepada orang-orang yang meminta pertolongan. Abah Falak juga dikenal sebagai seorang ulama besar yang kharismatik dan memilki kedalaman ilmu serta pengaruh yang sangat luas. Beliau tidak hanya ahli zikir dan Ilmu Tarekat, akan tetapi juga ahli dalam Ilmu Kasyaf dan Falak. Itulah sebabnya, berkat kepintaran dalam cabang Ilmu Kasyaf dan Falak, oleh Syekh Sayyid Afandi Turqi di Mekkah, beliau diberikan gelar ‘falak’, hingga kemudian gelar itu populer dan melekat pada nama beliau.
Nama sebenarnya dari Abah Falak yang dilahirkan di Pandeglang Banten pada tahun 1842 M – 1258 H ini adalah Tubagus Muhammad. Ayahnya bernama K.H. Tubagus Abas dikenal sebagai seorang ulama besar di Banten dan pendiri Pondok Pesantren Tabi. Sedangkan ibunya bernama Ratu Kuraisin. Berdasarkan garis silsilah dari ayahnya, Abah Falak berasal dari keturunan keluarga besar kesultanan di Banten. Itulah sebabnya kenapa di depan namanya memakai gelar kebangsawanan Banten, ‘Tubagus’ sebagaimana pula nama ayahnya. Bahkan merujuk kepada silsilah keluarganya, Abah Falak masih keturunan dari salah seorang walisongo, yakni Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati).
Sejak kecil, Abah Falak dikenal sebagai seorang yang sangat mencintai ilmu dan gigih dalam belajar. Dia mulai mendapat pendidikan agama yang ketat dari ayahnya dalam bidang bidang baca tulis Alquran dan akidah Islam. Pelajaran agamanya semakin bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Oleh ayahnya ia juga diajarkan ilmu tarekat. Dalam usia yang masih muda, Abah Falak sempat mengembara selama 15 tahun untuk menggali dan menuntut ilmu ke beberapa ulama besar yang ada di daerah Banten dan Cirebon.
Pada tahun 1857, ketika berusia 15 tahun, oleh ayahnya, Abah Falak diberangkatkan ke Mekkah untuk belajar dan memperdalam ilmu agama kepada sejumlah ulama besar ketika itu. Di antaranya, sanad Ilmu Hadits diterima dari Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi. Syekh Nawawi adalah ulama besar Indonesia yang mukim dan mengajarkan ilmu di Mekkah. Karena itu, kebanyakan ulama besar Indonesia pada masa itu pernah berguru dan menuntut ilmu kepada beliau. Salah seorang ulama besar yang juga menjadi murid beliau dari Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari (mufti Kerajaan Indragiri Riau) yang merupakan cicit (keturunan keempat atau kelima) dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Dengan demikian, Syekh Abdurrahman Siddiq pernah berguru (seguru) dengan Abah Falak. Kemudian, sanad Ilmu Khasyaf dan Falak diterima dari Syekh Sayyid Afandi. Abah Falak juga sempat berguru kepada Syekh Abdul Karim dan beberapa ulama besar lainnya yang ada di Jazirah Arab.
Selama menuntut ilmu di Mekkah, Abah Falak tinggal bersama Syekh Abdul Karim, dan dari Syekh Abdul Karim ini beliau mendapatkan kedalaman Ilmu Tarekat dan Tasawuf. Bahkan kemudian, oleh Syekh Abdul Karim yang dikenal sebagai seorang Wali Agung dan ulama besar dari tanah Banten yang menetap di Mekkah ketika itu, Abah Falak dibai’at hingga mendapat kepercayaan sebagai mursyid (guru besar) dalam tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.
Setelah mukim kurang lebih 21 tahun di Mekkah dan menuntut berbagai cabang ilmu agama dari banyak ulama, pada tahun 1878, Abah Falak kembali ke tanah air. Sebelum mendirikan Pesantren Al-Falak Pagentongan, selama beberapa pekan K.H. Falak tinggal di tempat kelahirannya Pandeglang Banten dan mendapat kepercayaan untuk memimpin pesantren ayahnya. Kemudian, setelah dikawinkan dengan Hj. Fatimah (putri K.H Romli) yang berasal dari Pagentongan, Abah Falak kemudian pindah ke Pagentongan. Di sinilah beliau kemudian mendirikan masjid dan pondok pesantren ‘Al-Falak‘ desa Pagentongan pada tahun 1901.
Setelah mengabdikan ilmunya kepada masyarakat luas, memperjuangkan dakwah, dan mendidik umat, Abah Falak wafat pada tahun 1972, dalam dalam usia kurang lebih 130 tahun. Beliau dimakamkan di areal komplek pemakaman Pondok Pesantren Al-Falak yang berlokasi tidak jauh dari masjid Al-Falak, desa Pagentongan, Bogor Barat. Beliau meninggal karena sakit ringan. Ketika wafat, banyak ulama dan Habaib dari berbagai daerah yang datang bertakziah, menshalatkan, dan ikut mengantarkan beliau ke kubur.
Pengabdian dan jerih payah Abah Falak sebagai seorang pendidik, telah banyak melahirkan santri-santrinya menjadi ulama yang kemudian meneruskan jejaknya dengan mendirikan majelis-majelis taklim, pondok pesantren, madrasah-madrasah dan berbagai lembaga ilmu pengetahuan Islam, tersebar tidak hanya di daerah Jawa Barat, tetapi juga diberbagai wilayah lainnya di Indonesia, bahkan sampai ke mancanegara. Ketinggian ilmu, kelembutan bahasa, dan kebaikan budi pekerti Abah Falak membuat beliau dikagumi oleh semua orang. Wajar jika banyak tuan guru dan ulama yang menyauk ilmu kepada beliau.
Sesudah anda berziarah ke Sekumpul Martapura dan kemudian mengikuti wisata religius ke daerah Banten, Cirebon, Bandung, Bogor, dan sekitarnya, saya sarankan agar tidak lupa untuk berziarah pula ke Pondok Pesantren Al-Falak dan makam Abah Falak, yang terletak di desa Pagentongan Bogor Barat, berjarak lebih kurang 5 Km dari pusat Kota Bogor. (Teriring Salam takzhim untuk Guru H. M. Irsyad Zein, Dalam Pagar Martapura)

Posted by zuljamalie@yahoo.co.id at 17:07:29 | Permanent Link | Comments (2) |
Jumat, September 21, 2007
MENGENANG TUAN GURU H.M. ZAINI ABDUL GHANI AL-BANJARI
Oleh: H.M. Irsyad Zein, Dalam Pagar, Martapura)
(Zuriat ke-6 Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari)
Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh H. Muhammad Zaini Abdul Ghani bin Al ‘arif Billah Abdul Ghani bin H. Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin H. M. Sa’ad bin H. Abdullah bin ‘Alimul ‘allamah Mufti H. M. Khalid bin ‘Alimul ‘allamah Khalifah H. Hasanuddin bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Guru Sekumpul), dilahirkan pada, malam Rabu 25 Muharram 1361 H (11 Februari 1942 M).
Nama kecil beliau adalah Qusyairi. Sejak kecil beliau sudah termasuk dari salah seorang yang mahfuzh, yaitu suatu keadaan yang sangat jarang sekali terjadi, kecuali bagi orang-orang yang sudah dipilih oleh Allah SWT.
Beliau adalah salah seorang anak yang mempunyai sifat-sifat dan pembawaan yang lain daripada anak-anak yang lainnya, di antaranya adalah bahwa beliau tidak pernah ihtilam.
‘Alimul ‘allamah Al Arif Billah Asy-Syekh H. Muhammad Zaini Abdul Ghani sejak kecil selalu berada di samping kedua orang tua dan nenek beliau yang benama Salbiyah. Beliau dididik dengan penuh kasih sayang dan disiplin dalam pendidikan, sehingga di masa kanak-kanak beliau sudah mulai ditanamkan pendidikan Tauhid dan Akhlaq oleh ayah dan nenek beliau. Beliau belajar membaca Alquran dengan nenek beliau. Dengan demikian guru pertama dalam bidang ilmu Tauhid dan Akhlaq adalah ayah dan nenek beliau sendiri.
Meskipun kehidupan kedua orang tua beliau dalam keadaan ekonomi yang sederhana, namun mereka selalu memperhatikan untuk turut membantu dan meringankan beban guru yang mengajar anak mereka membaca Alquran, sehingga setiap malamnya beliau selalu membawa bekal botol kecil yang berisi minyak tanah untuk diberikan kepada guru yang mengajar Alquran.
Dalam usia kurang lebih 7 tahun beliau sudah mulai belajar di madrasah (pesantren) Darussalam Martapura.
Guru-guru ‘Alimul’allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani, antara lain adalah:
1. Di tingkat Ibtida adalah: Guru Abdul Mu’az, Guru Sulaiman, Guru Muh. Zein, Guru H. Abdul. Hamid Husin, Guru H. Mahalli, Guru H. Rafi’i, Guru Syahran, Guru H. Husin Dakhlan, Guru H. Salman Yusuf
2. Di tingkat Tsanawiyah adalah: ‘Alimul Fadhil H. Sya’rani’Arif, ‘Alimul Fadhil H, Husin Qadri, ‘Alimul Fadhil H. Salilm Ma’ruf, ‘Alimul Fadhil H. Seman Mulya, ‘Alimul Fadhil H. Salman Jalil.
3. Guru di bidang Tajwid ialah: ‘Alimul Fadhil H. Sya’rani ‘Arif, ‘Alimul Fadhil Al Hafizh H. Nashrun Thahir, ‘Al-Alim H. Aini Kandangan.
4. Guru Khusus adalah: ‘Alimul’allamah H. Muhammad Syarwani Abdan Bangil, ‘Alimul’allamah Asy Syekh As Sayyid Muhammad Amin Qutby. Sanad sanad dalam berbagai bidang ilmu dan Thariqat, antara lain diterima dari:
Kyai Falak Bogor (Abah Falak), ‘Alimul’allamah Asy-Syekh Muhammad Yasin Padang (Mekkah), ‘Alimul’allamah Asy-Syekh Hasan Masysyath, ‘Alimul’allamah Asy- Syekh Isma’il Yamani dan ‘Alimul’allamah Asy-Syekh Abdul Qadir Al-Baar.
5. Guru pertama secara Ruhani ialah: ‘Alimul ‘allamah Ali Junaidi (Berau) bin ‘Alimul Fadhil Qadhi H. Muhammad Amin bin ‘Alimul ‘allamah Mufti H. Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad, dan ‘Alimul ‘allamah H. Muhammad Syarwani Abdan (Bangil). Kemudian ‘Alimullailamah H. Muhammad Syarwani Abdan menyerahkan kepada Kyai Falak Bogor dan seterusnya Kyai Falak menyerahkan kepada ‘Alimul’allamah Asy-Syekh As-Sayyid Muhammad Amin Qutby, kemudian beliau menyerahkan kepada Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang selanjutnya langsung dipimpin oleh Rasulullah Saw. Atas petunjuk ‘Alimul’allamah Ali Junaidi, beliau dianjurkan untuk belajar kepada ‘Alimul Fadhil H. Muhammad (Gadung Rantau) bin ‘Alimul Fadhil H. Salman Farisi bin ‘Allimul’allamah Qadhi H. Mahmud bin Asiah binti Syekh Muhammad Arsyad, untuk mengenal masalah Nur Muhammad; maka dengan demikian di antara guru beliau tentang Nur Muhammad antara lain adalah ‘Alimul Fadhil H. M. Muhammad tersebut di atas.
Dalam usia kurang lebih 10 tahun, sudah mendapat khususiat dan anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi yaitu melihat dan mendengar apa-apa yang ada di dalam atau yang terdinding. Dan dalam usia itu pula beliau didatangi oleh seseorang bekas pemberontak yang sangat ditakuti masyarakat akan kejahatan dan kekejamannya. Kedatangan orang tersebut tentunya sangat mengejutkan keluarga di rumah beliau. Namun apa yang terjadi, laki-laki tersebut ternyata ketika melihat beliau langsung sungkem dan minta ampun serta memohon untuk dikontrol atau diperiksakan ilmunya yang telah ia amalkan, jika salah atau sesat minta dibetulkan dan diapun minta agar supaya ditobatkan.
Mendengar hal yang demikian beliau lalu masuk serta memberitahukan masalah orang tersebut kepada ayah dan keluarga, di dalam rumah, sepeninggal beliau masuk kedalam ternyata tamu tersebut tertidur. Setelah dia terjaga dari tidurnya maka diapun lalu diberi makan dan sementara tamu itu makan, beliau menemui ayah beliau dan menerangkan maksud dan tujuan kedatangan tamu tersebut. Maka kata ayah beliau tanyakan kepadanya apa saja ilmu yang dikajinya. Setelah selesai makan lalu beliau menanyakan kepada tamu tersebut sebagaimana yang dimaksud oleh ayah beliau dan jawabannva langsung beliau sampaikan kepada ayah beliau. Kemudian kata ayah beliau tanyakan apa lagi, maka jawabannyapun disampaikan beliau pula. Dan kata ayah beliau apa lagi, maka setelah berulang kali di tanyakan apa lagi ilmu yang ia miiki maka pada akhirnya ketika beliau hendak menyampaikan kepada tamu tersebut, maka tamu tersebut tatkala melihat beliau mendekat kepadanya langsung gemetar badannya dan menangis seraya minta tolong ditobatkan dengan harapan Tuhan mengampuni dosa-dosanya.
Pernah rumput-rumputan memberi salam kepada beliau dan menyebutkan manfaatnya untuk pengobatan dari beberapa penyakit, begitu pula batu-batuan dan besi. Namun kesemuanya itu tidaklah beliau perhatikan dan hal-hal yang demikian itu beliau anggap hanya merupakan ujian dan cobaan semata dari Allah SWT.
Dalam usia 14 tahun, atau tepatnya masih duduk di Kelas Satu Tsanawiyah, beliau telah dibukakan oleh Allah Swt atau futuh, tatkala membaca ayat: Wakanallahu syami’ul bashiir.
‘Alimul’allamah Al-‘Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani, sejak kecilnya hidup di tengah keluarga yang shalih, maka sifat-sifat sabar, ridha, kitmanul mashaib, kasih sayang, pemurah dan tidak pemarah sudah tertanam dan tumbuh subur di jiwa beliau; sehingga apapun yang terjadi terhadap diri beliau tidak pernah mengeluh dan mengadu kepada orang tua, sekalipun beliau pernah dipukuli oleh orang-orang yang hasud dan dengki kepadanya. Beliau adalah seorang yang sangat mencintai para ulama dan orang orang yang shalih, hal ini tampak ketika beliau masih kecil, beliau selalu menunggu tempat tempat yang biasanya ‘Alimul Fadhil H. Zainal Ilmi lewati pada hari-hari tertentu ketika hendak pergi ke Banjarmasin semata-mata hanya untuk bersalaman dan mencium tangan tuan Guru H. Zainal Ilmi.
Di masa remaja ‘Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh H. M Zaini Abdul Ghani pernah bertemu dalam rukyah (mimpi) dengan Saiyidina Hasan dan Saiyidina Husien (cucu Nabi Saw) yang keduanva masing-masing membawakan pakaian dan memasangkan kepada beliau lengkap dengan sorban dari lainnya. Dan beliau ketika itu diberi nama oleh keduanya dengan nama Zainal ‘Abidin. Setelah dewasa, maka tampaklah kebesaran dan keutamaan beliau dalam berbagai hal dan banyak pula orang yang belajar. Para Habaib yang tua-tua, para ulama dan guru-guru yang pernah mengajari beliau, karena mereka mengetahui keadaan beliau yang sebenarnya dan sangat sayang serta hormat kepada beliau.
‘Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani adalah seorang ulama yang menghimpun antara wasiat, thariqat dari haqiqat, dan beliau seorang yang hafazh Alquran beserta hafazh tafsirnya, yaitu tafsir Alquran Al-‘Azhim lil-Imamain Al-Jalalain. Beliau seorang ulama yang masih termasuk keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan menghidupkan kembali ilmu dan amalan-amalan serta thariqat yang diamalkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Karena itu majelis pengajian beliau, baik majelis ta’lim maupun majelis ‘amaliyahnya di Komplek Raudah Sekumpul seperti majelis Syekh Abdul Kadir al-Jailani.
Sifat lemah lembut, kasih sayang, ramah tamah, sabar, dan pemurah sangatlah tampak pada diri beliau, sehingga beliau dikasihi dan disayangi oleh segenap lapisan masyarakat, sahabat dan anak murid. Kalau ada orang yang tidak senang melihat akan keadaan beliau dan menyerang dengan berbagai kritikan dan hasutan maka beliaupun tidak pernah membalasnya. Beliau hanya diam dan tidak ada reaksi apapun, karena beliau anggap mereka itu belum mengerti, bahkan tidak mengetahui serta tidak mau bertanya.
Tamu-tamu yang datang ke rumah beliau, pada umumnya selalu beliau berikan jamuan makan, apalagi pada hari-hari pengajian, seluruh murid murid yang mengikuti pengajian yang tidak kurang dari 3.000-an, kesemuanya diberikan jamuan makan. Sedangkan pada hari hari lainnya diberikan jamuan minuman dan roti.
Beliau adalah orang yang mempunyai prinsip dalam berjihad yang benar-benar mencerminkan apa apa yang terkandung dalam Alquran, misalnya beliau akan menghadiri suatu majelis yang sifatnya dakwah Islamiyah, atau membesarkan dan memuliakan syi’ar agama Islam. Sebelum beliau pergi ke tempat tersebut lebih dulu beliau turut menyumbangkan harta beliau untuk pelaksanaannya, kemudian baru beliau datang. Jadi benar-benar beliau berjihad dengan harta lebih dahulu, kemudian dengan anggota badan. Dengan demikian beliau benar-benar mengamalkan kandungan ayat Alquran yang berbunyi: Wajaahiduu bi’amwaaliku waanfusikum fii syabilillah.
‘Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani adalah satu-satunya Ulama di Kalimantan, bahkan di Indonesia yang mendapat izin untuk mengijazahkan (bai’at) thariqat Sammaniyah, karena itu banyaklah yang datang kepada beliau untuk mengambil bai’at thariqat tersebut, bukan saja dari Kalimantan, bahkan dari pulau Jawa dan daerah lainnya.
‘Alimul’allamah Al ‘Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani dalam mengajar dan membimbing umat tidak mengenal lelah dan sakit. Meskipun dalam keadaan kurang sehat, selama masih mampu, beliau masih tetap mengajar dan memberi pengajian.
Dalam membina kesehatan para peserta pengajian dalam waktu-waktu tertentu beliau datangkan dokter spesialis untuk memberiikan penyuluhan kesehatan sebelum pengajian dimulai, seperti dokter spesialis jantung, paru paru, THT, mata, ginjal, penyakit dalam, serta dokter ahli penyakit menular dan lainnya. Dengan demikian beliau sangatlah memperhatikan kesehatan para peserta pengajian dan kesehatan lingkungan tempat pengajian.
Berbagai karomah (kelebihan) telah diberikan oleh Allah kepada beliau. Ketika beliau masih tinggal di Kampung Keraton (Martapura), biasanya setelah selesai pembacaan maulid, beliau duduk-duduk dengan beberapa orang yang masih belum pulang sambil bercerita tentang orang orang tua dulu yang isi cerita itu untuk dapat diambil pelajaran dalam meningkatkan amaliyah.
Tiba tiba beliau bercerita tentang buah rambutan, pada waktu itu masih belum musimnya; dengan tidak disadari dan diketaui oleh mereka yang hadir beliau mengacungkan tangannya kebelakang dan ternyata di tangan beliau terdapat sebiji buah rambutan yang masak, maka heranlah semua yang hadir melihat kejadian akan hal tersebut. Dan rambutan itupun langsung beliau makan.
Ketika beliau sedang menghadiri selamatan dan disuguhi jamuan oleh shahibul bait (tuan rumah) maka tampak ketika, itu makanan, tersebut hampir habis beliau makan, namun setelah piring tempat makanan itu diterima kembali oleh yang melayani beliau, sesudah dilihat, ternyata makanan yang tampak habis itu masih banyak bersisa dan seakan-akan tidak pernah dimakan oleh beliau.
Pada suatu musim kemarau yang panjang, di mana hujan sudah lama tidak turun sehingga sumur-sumur sudah hampir mengering, maka cemaslah masyarakat ketika itu dan mengharap agar hujan bisa segera turun. Melihat hal yang demikian banyak orang yang datang kepada beliau mohon minta doa beliau agar hujan segera turun, kemudian beliau lalu keluar rumah dan menuju pohon pisang yang masih berada di dekat rumah beliau waktu itu, maka beliau goyang-goyangkanlah pohon pisang tersebut dan ternyata tidak lama kemudian, hujanpun turun dengan derasnya.
Ketika pelaksanaan Haul Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang ke 189 di Dalam pagar Martapura, kebetulan pada masa itu sedang musim hujan sehingga membanjiri jalanan yang akan dilalui oleh ‘Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syeikh H. M. Zaini Abdul Ghani menuju ke tempat pelaksanaan haul tersebut. Keadaan itu sempat mencemaskan panitia pelaksana haul tersebut, namun dan tidak disangka sejak pagi harinya jalanan yang akan dilalui oleh beliau yang masih digenangi air sudah kering, sehingga dengan mudahnya beliau dan rombongan melewati jalanan tersebut; dan setelah keesokan harinya jalanan itupun kembali digenangi air sampai beberapa hari kemudian.
Banyak orang orang yang menderita sakit seperti sakit ginjal, usus yang membusuk, anak yang tertelan peniti, ibu yang sedang hamil dan bayinya jungkir (sungsang) serta meninggal dalam kandungan, di mana semua kasus ini menurut keterangan dokter harus dioperasi. Namun keluarga sisakit kemudian pergi minta didoakan oleh ‘Allimul’allamah ‘Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani. Dengan air yang beliau berikan kesemuanya dapat tertolong dan sembuh tanpa dioperasi.
Demikianlah di antara karamah dan kekuasaan Tuhan yang ditunjukkan kepada diri seorang hamba yang dikasihi-Nya.
Sebelum wafat, Tuan Guru H.M. Zaini Abdul Ghani telah menulis beberapa buah kitab, antara lain:
– Risalah Mubaraqah.
– Manaqib Asy-Syekh As-Sayyid Muharnmad bin Abdul Karim Al-Qadiri Al-Hasani As-Samman Al-Madani.
– Ar-Risalatun Nuraniyah fi Syarhit Tawassulatis Sammaniyah.
– Nubdzatun fi Manaqibil Imamil Masyhur bil Ustadzil a’zham Muhammad bin Ali Ba’alawy.
Beliau juga sempat memberikan beberapa pesan kepada seluruh masyarakat Islam, yakni:
1. Menghormati ulama dan orang tua
2. Baik sangka terhadap muslimin
3. Murah hati
4. Murah harta
5. Manis muka
6. Jangan menyakiti orang lain
7. Mengampunkan kesalahan orang lain
8. Jangan bermusuh-musuhan
9. Jangan tamak atau serakah
10.Berpegang kepada Allah, pada kabul segala hajat
11.Yakin keselamatan itu pada kebenaran.
Setelah sempat dirawat selama lebih kurang 10 hari di rumah sakit Mount Elizabeth Singapura, karena penyakit ginjal yang beliau derita, pada hari Rabu, 5 Rajab 1426 H bertepatan dengan 10 Agustus 2005, beliau pun kembali menghadap Allah SWT. Innalillahi wa Inna Ilaihi Raaji’un, telah diangkat oleh Allah SWT ilmu melalui kewafatan seorang ulama.
Seluruh masyarakat Kalimantan merasa kehilangan seorang Tuan Guru yang menjadi panutan, penerang, dan penyuluh kehidupan umat. Kini umat Islam di Martapura dan Kalimantan Selatan umumnya, menantikan kembali, hadirnya generasi baru –ulama panutan– yang akan menggantikan atau paling tidak memiliki kharisma dan ilmu sebagaimana yang dimiliki oleh Guru Sekumpul, untuk memimpin dan membimbing umat menuju kedamaian di bawah ridha Allah SWT.
Posted by zuljamalie@yahoo.co.id at 13:51:11 | Permanent Link | Comments (1) |
Kamis, September 06, 2007
MEMBACA KEILMUAN, KEULAMAAN, DAN KETELADANAN GURU SEKUMPUL
Masih kuat dalam ingatan masyarakat Banjar, bagaimana rasa kehilangan dan kesedihan atas
wafatnya Al-Allimul Fadhil K.H.Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari yang populer dipanggil dengan nama Guru Sekumpul, dua tahun yang lalu. Generasi ketujuh dari ulama besar Banjar, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini wafat pada tanggal 5 Rajab 1426 H bertepatan dengan 10 Agustus 2005.
Beliau adalah sosok ulama kharismatik dan mumpuni, yang keharumanan nama dan keilmuannya
tidak hanya dikenal di Banua, namun juga sampai ke negara jiran, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Kehadiran beliau di Bumi Kalimantan telah memberikan warna dan cahaya terang terhadap pengembangan dakwah dan syiar Islam, yang gemanya tidak hanya bergaung di banua, akan tetapi sampai keberbagai daerah di Indonesia. Dengan ilmu dan amal yang telah ditebarkannya,
kharisma dan keharuman Guru Sekumpul seakan ber-emanasi dan menyentuh hati ribuan jamaah yang menghadiri pengajiannya. Jamaahnya yang datang dari berbagai kota di Kalimantan Selatan
saban pengajian dilaksanakan, rela untuk berdesakan guna menyauk ilmu yang terus mengalir di Komplek Ar-Raudhah Sekumpul.
Guru Sekumpul adalah seorang ulama besar yang yang sulit dicarikan gantinya. Karena, beliau pergi dengan membawa ilmunya, “Sesungguhnya dicabut ilmu itu oleh Allah Swt dengan kewafatan ulama”. Beliau banyak meninggalkan teladan yang patut untuk kita contoh, beliau meninggalkan kebaikan
yang layak untuk dikenang, dan beliau meninggalkan warisan publik yang patut untuk diikuti. Kehadiran beliau di tengah masyarakat Banjar terasa sangat luar biasa. Kini, tidak terasa dua tahun sudah beliau meninggalkan kita semua. Tentu, bagi mereka yang pernah dekat dan berhubungan beliau, memiliki kesan dan kenangan tersendiri.
Umumnya, dalam komunitas Islam diberbagai daerah kehadiran ulama dalam memberi warna kehidupan
masyarakat memang sangat signifikan. Ulama memiliki kedudukan sangat penting di tengah-tengah masyarakatnya, sehingga kata-katanya dipatuhi dan perilakunya diikuti. Dalil utama yang sering menjadi sandaran atas peran penting ulama, sehingga mereka menjadi tokoh kunci (key people) adalah: “Ulama adalah pewaris para Nabi”.
Menurut bahasa, ulama merupakan bentuk plural dari kata alim, berarti orang yang mempunyai sifat tahu, mengerti, terpelajar, berilmu atau ilmuwan. Dalam Alquran seperti tercantum dalam surah Asy Syuraa 197 dan Al-Fathir 28 dijelaskan bahwa makna ulama yang terkandung dalam ayat tersebut tidak merujuk kepada pengertian khusus yang berarti sebagai orang-orang yang berpengetahuan agama saja, namun ia bersifat umum. Karena itu jika kita telusuri ulama hanyalah salah satu kelompok atau sinonim dari apa yang disebut dengan istilah ulil albab “orang-orang yang berakal, mempunyai pikiran, cendikiawan, ulama”, yakni sebagai “men of understanding and men of wisdom”. Kata-kata ulil albab disebut enam belas kali dalam Al Qur’an antara lain ia disebut sebagai orang yang diberi hikmah (Al-Baqarah 269), orang yang sanggup mengambil pelajaran (Yusuf 111), kritis mendengarkan pemikiran orang lain (Az-Zumar 18), orang yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu (Ali Imran 109), yang mengambil pelajaran dari kitab yang diwahyukan oleh Allah (As-Shaad 29, Al-Mu’min 54 dan Ali Imran 7) dan yang
takut kepada Tuhannya.
Karena itulah, Ali Syariati (seorang sosiolog Muslim Iran) menjuluki kelompok ulil albab tersebut sebagai pemikir yang mencerahkan. Ulama diibaratkan tongkat pemandu jalan di siang hari dan obor penerang di malam Karena itu, kehadirannya tidak hanya concern dengan peran keulamaannya (Tuan Guru), tetapi mestinya jugaterpanggil untuk melaksanakan kebenaran guna memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskan bahasa yang dapat dipahami mereka, serta siap menawarkan
strategi dan alternatif solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi oleh masyarakat. Inilah tugas utama ulama kata Syariati. Untuk itu ia tidak hanya pandai dalam ilmu-ilmu agama, akan tetapi ia juga harus tahu ilmu-ilmu pengetahuan lain guna menunjang tugas yang diembannya selaku waratsatul anbiyaa.
Imam Ali ra menegaskan bagaimana strategisnya kedudukan ulama di tengah-tengah masyarakat.
Menurut Imam Ali: “Ulama adalah lampu Allah di bumi, maka barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, dia akan memperoleh cahaya (ilmu) itu darinya. Kedudukan ulama bagaikan pohon kurma, engkau menunggu kapan buahnya jatuh kepadamu. Jika seorang ulama meninggal, maka terjadi lubang dalam Islam yang tidak tertutupi sehingga datang ulama lain yang menggantikannya. Kesalahan
yang dilakukan ulama seperti pecahnya sebuah kapal, yang tidak hanya menenggelamkan dirinya, akan tetapi juga orang-orang yang ikut bersamanya”.
Kecintaan murid, jamaah, dan masyarakat Banjar terhadap sosok Guru Sekumpul semasa hidupnya tidak diragukan lagi. Bahkan, dengan ilmu, kealiman, akhlak, perilaku, beliau sudah dianggap sebagai
seorang “wali”, dengan “karamah” tertentu yang diberikan oleh Allah SWT. Sehingga ada di antara masyarakat yang bersikap terkesan agak berlebihan, bahkan terkadang mengarah kepada pengkultusan). Misalnya, ada pernyataan yang menegaskan bahwa: “Bagaimanapun tingginya ilmu seseorang atau gelar akademik yang dicapainya, dianggap belum sempurna jika belum menyauk ilmu di Sekumpul”.
Bertemu, bersalaman, dan bahkan berfoto dengan Guru Sekumpul adalah sesuatu yang sangat luar biasa (dan dianggap sebagai suatu keharusan). Inilah yang kemudian ada tuduhan tidak laik, bahwa siapapun yang bersalaman atau berfoto dengan beliau dikenakan bayaran. Benda apapun yang pernah dipakai atau berhubungan dengan Guru Sekumpul dianggap memiliki tuah atau manna, sehingga merupakan sesuatu keberuntungan atau sesuatu yang luar biasa jika memilikinya. Dan sebagainya”
Boleh jadi memang sikap itu adalah manifestasi kecintaan dan penghormatan mereka kepada Guru Sekumpul. Karena itu, tidak salah sikap dan perilaku masyarakat dalam mencintai, menghormati, dan meneladani Guru Sekumpul. Namun, apapun alasannya harus tetap dalam konteks kewajaran dan koridor yang semestinya, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, bukan untuk pengkultusan. Karena pengkultusan tidak diperbolehkan dalam Islam.
Pasca dua tahun wafatnya Guru Sekumpul dan di tengah peringatan haulnya yang kedua, penulis
jadi teringat beberapa apresiasi tentang beliau yang dimuat dalam majalah Sufi ketika profil beliau (yang bersumber dari tulisan Ayahnda K.H.M. Irsyad Zein, Dalam Pagar Martapura) dimuat dalam majalah ini dan kemudian mendapat tanggapan dari berbagai kalangan pembaca, yang sempat penulis baca melalui akses internet. Semua orang memang berhak mengatakan ini dan itu tentang beliau, namun terasa kurang etis jika ada yang meragukan keulamaan beliau.Ataupun menjelek-jelekan beliau hanya karena tidak suka. Karena yang terpenting adalah bagaimana bisa mengikuti jejak perjuangan dan meneladani beliau sesuai dengan koridor yang semestinya, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasul SAW.
Sejatinya dan sudahnya seharusnya jika manifestasi kecintaan kita terhadap Guru Sekumpul dalam rangka mengenang kewafatannya adalah dengan mengingat petuah dan nasihatnya, mengamalkan ilmu dan pengajarannya, serta mengikuti teladan kebaikan yang telah ditinggalkannya. “Semoga Allah Swt senantiasa mencurahkan rahmat, kasih sayang, dan ampunan-Nya kepada beliau dan kepada kita semua”. Amin.
(Teriring Salam takzhim untuk Guru K.H. M. Irsyad Zein, Dalam Pagar Martapura)
Posted by zuljamalie@yahoo.co.id at 11:06:31 | Permanent Link | Comments (0) |
1 2
Cari

*

my advertisement
zuljamalie@yahoo.co.id

* Location:Banjar

Tag Cloud

* Ulama Banjar
* Ramadhan
* Guru Sekumpul
* Sultan Banjar
* Datu Kalampayan

My Music
Komentar terakhir

* You are thinking, lots of hard work, much clearer, super pro
* great capture,beautiful composition with rich colours.
* Thanks so very much for taking your time to create this very
* Tidak ada komentar, mohon di kirimkan copy kitab Barencong
* Kepada pembaca blog ini dipersilakan pula untuk membaca tuli
* Terimakasih atas apresiasi anda, sayangnya, sampai saat ini
* Ma’af kami tidak memberikan komentar tapi minta infomasinya

Blogroll

* Cahaya-Sufi
* Islam-Banjar

May, 2009
Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat
26 27 28 29 30 1 2
3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16
17 18 19 20 21 22 23
24 25 26 27 28 29 30
31 1 2 3 4 5 6
Arsip

* Juli – 2008
* September – 2007

* Random Blog

Tinggalkan sebuah Komentar

Lailatul Qadr

Islam di Tanah Banjar
Bermakna, Berbagi, dan Meyakini.
Sabtu, September 29, 2007
Malam Pencerahan
LAILATUL QADAR, MALAM KEMULIAAN SERIBU BULAN

Oleh Zulfa Jamalie

(Pelajar di Universiti Utara Malaysia, Sintok, Kedah)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran pada malam kemuliaan. Tahukah kamu, apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Di mana pada malam itu, turun para malaikat dan malaikat Jibril as dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan, malam itu penuh kesejehteraan hingga terbit fajar” (QS. al-Qadar 1-5)

Salah satu kelebihan dan kemuliaan bulan Ramadhan bagi umat Islam adalah diturunkannya suatu malam yang penuh kemuliaan, yakni Lailatul Qadar. Lailatul Qadar merupakan tema menarik dibicarakan, terlebih di sepuluh akhir bulan Ramadhan, sebagai waktu turunnya menurut sebagian besar pendapat ulama.

Berita tentang Lailatul Qadar di samping tercantum dalam surah al-Qadar, biasanya juga disandarkan pada satu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah bercerita bahwa beliau mendapatkan wahyu dari Allah tentang seorang laki-laki Bani Israel yang bernama Syam’un yang berjihad di jalan Allah selama seribu bulan tanpa henti. Rasululah SAW sangat kagum, kemudian berdoa: “Tuhanku, Engkau telah menjadikan umatku orang-orang yang berumur pendek dan sedikit amalan”. Allah kemudian menjawab dan memberi keutamaan kepada Rasulullah SAW dengan Lailatul Qadar yang nilainya lebih baik dari seribu bulan yang telah dihabiskan oleh laki-laki Bani Israil tersebut. Apa arti malam kemuliaan atau Lailatul Qadar itu dan mengapa malam itu dinamakan malam kemuliaan?

Menurut pakar tafsir, Prof. Dr. Quraisy Shihab, dalam Membumikan Alquran (1994: 312), ada tiga kelompok yang memahami qadar dalam konteks berbeda sebagai kata kunci yang terkandung dalam kalimat tersebut.

Kelompok pertama mengartikan qadar dengan penetapan dan pengaturan, sehingga Lailatul Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Dasar yang dijadikan argumentasi pendapat golongan ini adalah firman Allah dalam surah ad-Dukhaan 3: “Sesungguhnya Kami menurunkan Alquran pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan”. Ada ulama yang yang memahami penetapan itu dalam batas setahun. Alquran yang turun pada saat Lailatul Qadar diartikan bahwa pada malam itu Allah SWT mengatur dan menetapkan khittah dan strategi bagi Nabi Muhammad SAW guna mengajak manusia kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusa, baik sebagai individu maupun masyarakat.

Kelompok kedua mengartikannya dengan malam kemuliaan, karena malam tersebut adalah malam mulia yang tidak ada bandingannya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Alquran serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Sementara, di dalam Alquran sendiri, kata qadar yang berarti mulia dapat ditemukan dalam surah al-An’am 91, “Dan mereka tidak memuliakan (menghormati) Allah dengan kemuliaan yang semestinya…”

Kelompok ketiga berpendapat bahwa qadar itu berarti malam yang sempit, disebabkan turunnya ribuan Malaikat ke bumi, sebagaimana yang ditegaskan dalam surah al-Qadar sendiri. Kemudian dalam surah ar-Ra’d 26 juga ditemukan qadar dalam artian sempit, yakni “Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa saja yang Dia kehendaki”.

Turunnya ribuan Malaikat ke bumi, menurut Imam Fakhrurrazi dikarenakan keinginan mereka untuk menyaksikan secara langsung dua amal manusia yang menakjubkan, yang kedua amal tersebut hanya bisa dilakukan oleh penduduk bumi, tidak pada penduduk langit. Kedua amal tersebut adalah, pertama orang-orang yang membagikan rezekinya kepada orang-orang yang miskin, dan kedua orang-orang atau para pendosa yang merintih, mengakui segala dosa atau kesalahan yang telah mereka lakukan. Ramadhan adalah bulan dan waktu yang mustajab untuk berdoa dan beristigfar, waktu untuk memohon ampunan Allah. Itulah sebabnya untuk mencari Lailatul Qadar, biasanya orang melakukan i’tikaf, yakni berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah dan merenung (tadabbur), dan introspeksi diri. I’tikaf berarti mengkonsentrasikan diri untuk beribadah di bulan Ramadhan dengan tinggal di masjid, berdiam diri di masjid dan berada di dalam masjid, atau mengkhususkan diri pada waktu tertentu untuk hanya berada di dalam masjid. “Barangsiapa menghidupkan malam Lailatul Qadar, melaksanakan shalat dua rakaat, dan memohon ampunan Allah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan mencurahkan rahmat-Nya. Malaikat Jibril pun akan membelai dengan syapnya, sehingga ia akan masuk sorga” (Hadits dari Aisyah).

Menanggapi ketiga pengertian qadar menurut tiga kelompok di atas, selanjutnya Quraisy Shihab menjelaskan bahwa ketika pengertian yang disampaikan oleh masing-masing golongan tersebut pada hakikatnya dapat menjadi benar, karena malam kemuliaan itu apabila dapat diraih maka ia akan menetapkan masa depan manusia, dan pada malam itu ribuan Malaikat juga turun memenuhi bumi membawa kedamaian, ketenangan, dan kesejahteraan.

Lebih jauh, menurut tafsir The Holy Quran, Abdullah Yusuf Ali, Lailatul Qadar sebagai malam kemuliaan yang lebih baik dari seribu bulan sebenarnya tidak perlu diartikan secara harfiah –seribu seribu bulan kurang lebih sama dengan bilangan 80 tahun– karena ia hanya merupakan ilustrasi atau metafora untuk waktu yang tidak terbatas. Karena itu Lailatul Qadar adalah suatu peristiwa atau suatu malam yang mempunyai nilai mistis.

Sebagai peristiwa yang bernilai mistis, Lailatul Qadar bisa dialami oleh setiap orang yang terpilih, di mana mereka akan mengalami perbedaan yang jelas antara yang benar dan yang salah. Akibatnya ia akan mengalami transformasi spiritual dengan timbulnya kesadaran mendalam bahwa ada sesuatu yang benar dalam hidup ini yang ketika diproyeksikan dalam pengalaman hidupnya mengakibatkan semacam pengkhususan dari masa lalunya, dan orang yang bersangkutan merasa mengalami kelahiran kembali. Karena malam ini menjadi lebih baik daripada seribu bulan, lebih baik dari seluruh umur hidup manusia. Momen itulah yang disebut momen mistis, momen ketika seseorang dengan pertolongan dan rahmat Allah sampai kepada semacam pengalaman teofanik atau pengalaman metafisik menemukan kebenaran hakiki dikarenakan keridhaan Allah terhadap taqarrub, mujahadah, dan pengalaman ibadahnya yang intensif pra maupun selama Ramadhan.

Ada pula yang menyatakan bahwa Lailatul Qadar adalah sebuah peristiwa titik balik yang dialami oleh seseorang setelah ia mengalami pengembaraan jiwa di luar lingkaran cahaya keilahian. Karena itu bagi mereka, Lailatul Qadar adalah simbolis yang menunjukkan kembalinya “si anak” hilang ke kandang, setelah mengalami proses penyadaran diri ketika ditampakkan oleh Allah ayat-ayat-Nya kepada mereka. Karena itu siapapun dapat mengalami peristiwa ini, seperti halnya peristiwa-peristiwa yang pernah dialami di kalangan dunia sufi, seperti yang dialami oleh Fudhail bin Iyadh.

Sebelum terkenal sebagai seorang sufi yang saleh, dan guru dari Ibrahim bin Adham, Fudhail dikenal sebagai seorang berandal yang suka melakukan perbuatan maksiat. Hingga suatu malam, ia mendengar seorang wanita yang sedang membaca Alquran tersebut, dan ia semakin tertegun ketika bacaan Alquran wanita tersebut sampai pada ayat: “Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka” (QS. al-Hadid 16). Fudhail merasa bahwa ayat itu seakan-akan dipukulkan kepadanya, sehingga bergetarlah jiwanya, ia kemudian merasakan ada iman dalam lubuk hatinya yang selama ini telah terselubungi oleh hawa nafsu. Ambruklah saat itu juga segala syahwat yang memuncak, ia segera lari menuju masjid untuk bertaubat kepada Tuhannya. Sejak itu berubahlah hidupnya menjadi manusia yang shalih dan kembali kepada fitrahnya, persis ketika ia dilahirkan dan berada dalam perjanjian pengakuan akan ketuhanan.

Malam tatkala Fudhail bin Iyadh mendengar ayat Alquran yang menjadi titik balik kesadaran jiwanya, bergetar hatinya, berubah perilakunya itulah makna metamorfosa Lailatul Qadar. Peristiwa yang dialami Fudhail bin Iyadh sendiri adalah peristiwa ulangan dari sejumlah peristiwa yang pernah dialami oleh orang-orang besar lainnya, seperti Umar bin Khattab ketika mendengar bacaan surah Thahaa, Hasan al-Basri, Ibrahim bin Adham yang asalnya hidup dalam kemewahan, Imam Al-Ghazali (Hujjatul Islam), Profesor Nizhamiyah yang hidup dalam popularitas, dan sederet tokoh-tokoh lainnya yang telah mengalami pencerahan jiwa untuk kembali kepada kebenaran Tuhannya.
Kesimpulan, inti dari Lailatul Qadar adalah password atau entry point dalam mencontoh sifat-sifat Tuhan, karena itu ia harus dipahami sebagai suasana batin feminim, indah, lembut, penuh kepasrahan, dan kehangatan dengan Tuhan. Ia adalah malam pencerahan, di mana orang menemukan kesadaran atau fitrahnya, bahwa Tuhan telah menjadikannya untuk mengabdi dan pasti kembali kepada-Nya. Sudahkah kita merasakannya?
Posted by zuljamalie@yahoo.co.id at 11:27:32 | Permanent Link | Comments (1) |
Sorga-Ramadhan
RAMADHAN BULAN KASIH SAYANG

Oleh Zulfa Jamalie

(Pelajar di Universiti Utara Malaysia, Sintok Kedah)

Pada salah satu tulisannya di harian Republika, K.H. Hasyim Muzadi dengan sangat indah menggambarkan Ramadhan sebagai sepotong sorga yang melayang-layang ke alam di dunia, yang di bawa oleh para bidadari untuk dipersembahkan kepada umat Islam yang telah tercerahkan etos iman, ilmu, amal, dan ihsannya. Siapa mereka? Mereka ini, oleh Rasul Saw digambarkan sebagai orang yang berpuasa karena mengharap ridha Allah, beristighfar, dan mengisi Ramadhan dengan amal-amal yang diperintahkan. “Barangsiapa yang puasa pada bulan Ramadhan dan menghidupkan malamnya dengan amal ibadah karena keimanan dan mengharap ridha Allah, maka diampunkan segala dosa-dosanya yang telah lalu” (Al-Hadits).

Jika kita merenung secara dalam, kita akan sampai pada satu kesimpulan betapa maha luar biasanya kasih dan sayang Allah kepada kita. Kemahakasih dan sayang Allah itu tidak dapat kita hitung, tidak dapat kita gambarkan, dan tak akan terlintas atau terbayang dalam rasa dan pikir kita. Dan Ramadhan adalah salah satu wujud dari kasih sayang Allah tersebut kepada kita. Itulah sebabnya, dalam hadits Qudsi dikatakan: “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya”, demikian janji Allah.

Ramadhan sebagai manifestasi kasih sayang Allah juga dapat kita butiri dari berbagai kelebihan yang telah diberikan oleh Allah khusus pada bulan ini. Kelebihan-kelebihan tersebut tidak kita temukan pada bulan yang lain. Beberapa hadits berikut menggambarkan beberapa kelebihan yang diberikan Allah di bulan Ramadhan.

“Hai manusia! Telah datang kepada kamu satu bulan yang mulia, bulan rahmat, di mana bulan ini mewajibkan kamu berpuasa di siang hari dan mendirikan shalat pada malamnya. Barangsiapa yang mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan segala amalan sunnat di bulan ini, maka ia akan menerima ganjaran seperti melakukan amalan wajib di bulan lain. Ramadhan merupakan bulan kesabaran dan kesabaran itu imbalannya sorga. Ramadhan juga bulan sedekah dan bulan di mana rezeki orang beriman bertambah” (HR. Ibnu Khuzaimah). “Apabila telah tiba bulan Ramadhan, dibuka pintu-pintu sorga dan ditutup segala pintu neraka dan diikat segala setan” (HR. Bukhari-Muslim). “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan niscaya akan diampuninya segala dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari-Muslim). “Shalat yang difardhukan kepada shalat yang sebelumnya merupakan penebus dosa antara keduanya, dan Jumat kepada Jumat yang sebelumnya merupakan penebus dosa antara keduanya, dan bulan Ramadhan kepada Ramadhan sebelumnya merupakan kaffarah atas dosa antara keduanya, melainkan tiga golongan: Syirik kepada Allah, meninggalkan sunnah, dan melanggar perjanjian atau sumpah” (HR. Imam Ahmad). “Setiap amalan anak Adam baginya melainklan puasa maka ia untuk-Ku kata Allah dan Aku akan membalasnya. Dan puasa adalah perisai, maka apabila seseorang berada pada hari puasa maka dia dilarang jima’ pada hari itu dan tidak meninggikan suara. Sekiranya dia dihina atau diserang maka dia berkata: Sesungguhnya aku berpuasa demi Tuhan yang mana diri Nabi Muhammad ditangan-Nya, maka perubahan bau mulut orang berpuasa lebih harum di sisi Allah pada hari qiamat daripada bau kasturi, dan bagi orang berpuasa ada dua kegembiraan, yakni kegembiraan waktu berbuka dan ketika bertemu Tuhannya, dia gembira dengan puasanya (HR. Bukhari-Muslim), dan sebagainya.

Pada bulan Ramadhan juga Allah menunrunkan Alquran dan menganugerahkan malam qadar, satu malam kemuliaan yang lebih baik daripada seribu bulan, bagi umat Islam yang menghidupkan malam tersebut dengan peribadahan.

Demikianlah, begitu banyak kasih sayang Allah tercurah di bulan Ramadhan ini. Karena itu sangat rugi jika kita tidak bisa menggunakan waktu dan umur yang telah diberikan Allah untuk merasakan kasih sayang-Nya.

Hanya orang-orang yang merenung dan menyadari betapa besarnya kasih sayang Allah sajalah yang mampu merasakan emanasi kasih sayang-Nya tersebut, dan kemudian membaginya kepada seluruh alam, sebagai Nabi kita yang rahmatan lil’alamin. Kasih sayang kepada Allah wujud dalam kepatuhan dan ketundukan kepada-Nya, kasih sayang kepada tumbuhan berarti merawat dan menjaganya, kasih sayang kepada hewan berarti tidak menyakitinya, dan kasih sayang kepada manusia (apalagi sesama Muslim) berarti tidak menyakiti hatinya, tiadak menganiaya haknya, dan tidak berbuat zhalim kepadanya.
Karena Ramadhan adalah bulan kasih sayang, berarti bulan bagi untuk membersihkan diri dan rohani kita dari sifat-sifat yang bertentangan dengan kasih sayang. “Penjarakan dan kuburkan, seluruh sifat-sifat burukmu; iri, dengki, takabur, riya’, ‘takjub pada diri sendiri, menuruti nafsu syahwat, menuruti kesenangan dunia, kemunafikan, berbuat aniaya kepada orang lain, menzalimi orang lain, dan kemusyrikan hati. Jika sesekali hendak muncul sifat-sifat itu, cepat-cepatlah beristighfar dan kau lawan dengan segala caramu, katakanlah aku sedang berpuasa”.
Posted by zuljamalie@yahoo.co.id at 10:37:53 | Permanent Link | Comments (0) |
Derajat Puasa
MENINGKATKAN DERAJAT PUASA

Oleh Zulfa Jamalie

(Pelajar di Universiti Utara Malaysia, Sintok, Kedah)

“Barangsiapa yang puasa pada bulan Ramadhan dan menghidupkan malamnya dengan amal ibadah karena keimanan dan mengharap ridha Allah, maka diampunkan segala dosa-dosanya yang telah lalu” (Al-Hadits).

Puasa pada prinsipnya adalah self restraint (pengendalian diri) untuk tetap berada pada posisi yang ditentukan Allah Swt, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah imsak-an artinya menahan diri dan imsak-bi artinya berpegang teguh kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain puasa berarti upaya untuk mengendalikan diri dan mengendalikan hawa nafsu karena mentaati perintah Allah. Sehingga yang menjadikan puasa dipandang sebagai ibadah adalah apabila ia dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Itulah sebabnya puasa disebut pula sebagai amal badani (berhubungan dengan jasmani), amal nafsi (berhubungan dengan jiwa) dan amal ijabi (amal positif yang sangat besar pahalanya).

Dalam sebuah haditsnya, Rasul Saw mengingatkan: “Banyak sekali orang yang berpuasa, tetapi tidak ada yang diperolehnya dari puasa itu kecuali hanya lapar dan haus saja” (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah).

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits ini, sebagian ada yang menyatakan bahwa orang yang hanya mendapatkan lapar dan haus dari puasanya adalah orang yang berbuka dengan makanan yang diharamkan. Ada pula yang berpendapat, bahwa orang itu adalah mereka yang suka menggunjing orang lain (ghibah), atau mereka yang suka berbuat maksiat, padahal sedang berpuasa. Mereka bersandar pada suatu riwayat yang menjelaskan bahwa, Rasulullah Saw menyuruh seorang perempuan untuk berbuka puasa disebabkan perempuan tersebut telah memaki-maki budaknya. Rasul kemudian menyatakan: “Puasa bukanlah sekadar menahan makan dan minum saja, tetapi juga menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang tercela, perbuatan atau perkataan yang dapat merusak puasa, apalagi berbuat kemaksiatan”.

Jelas, berdasarkan hadits di atas, puasa sejatinya tidaklah sekadar menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa atau menahan diri dari makan-minum, akan tetapi juga menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan pahala puasa. Puasa bermakna mempuasakan seluruh anggota tubuh, mengendalikan hati dari segala yang tidak diridhai Allah, serta menjaga konsentrasi pikiran dan rohani agar tetap tertuju kepada Allah.

Puasa perut berarti hanya menahan diri dari makan-minum, jima’, sementara anggota tubuhnya yang lain tetap bebas tanpa kontrol dan kendali, oleh Imam Al-Ghazali jenis puasa seperti ini disebut puasa awam. Puasa lisan berarti puasa perut yang diikuti dengan upaya pengendalian mata, telinga, lidah, dan seluruh anggota tubuhnya dari segala yang diharamkan oleh Allah, yang disebut pula dengan puasa khushus. Sedangkan puasa hati berarti menahan diri dari segala yang membatalkan puasa (puasa perut), yang membatalkan pahala (puasa lisan), dan menjaga segala pikiran yang dapat mengakibatkan orang jatuh kepada perbuatan dosa. Dalam Ihya Ulumuddin, puasa seperti ini disebut dengan puasa khushush al-khushus, yakni puasa dari segala kecenderungan yang rendah dan pikiran yang bersifat duniawi, serta memalingkan diri segala sesuatu selain Allah. Karena itu, puasa sudah dianggap batal hanya lantaran pikiran tertuju kepada sesuatu selain Allah.

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menyebutkan enam cara untuk imsak-an (menahan diri) guna meningkatkan derajat puasa kita. Pertama, menahan pandangan dan tidak mengumbarnya pada hal-hal yang menyibukkan hati, sehingga lupa kepada Allah. Kedua, menjaga lidah dari ucapan yang sia-sia, seperti berbohong, mengupat, memfitnah, bertengkar dan membiasakan untuk diam serta menyibukkan lidah dengan zikir kepada Allah. Ketiga, menahan pendengaran dari hal-hal yang dibenci oleh ajaran agama. Keempat, menahan seluruh anggota dari perbuatan dosa, misalnya perut dari makanan yang haram, tangan (kekuasaan) dari menganiaya orang, kaki (kepemimpinan) dari menginjak-injak hak orang, lidah dari mengumpat atau mengghibah orang lain, dan seterusnya. Kelima, menahan diri untuk tidak makan berlebih-lebihan walaupun dengan makanan yang halal. Keenam, sesudah berbuka hendaklah hatinya selalu berada di antara khauf (cemas) dan raja’ (harap) kepada Allah akan puasa yang telah dilaksanakan, apakah diterima atau tidak.
Di samping itu, kita juga harus melakukan empat hal penting lainnya, sebagaimana yang dianjurkan oleh Rasul Saw. Pertama, memperbaharui niat (tajdidun niyat), dan meluruskannya agar hanya tertuju untuk Allah. Kedua, memenuhi syarat dan rukun puasa sesempurna mungkin, sesuai dengan kemampuan kita. Ketiga, menahan diri dari segala sesuatu yang dilarang atau tidak diridhai Allah. Keempat menghidupkan Ramadhan dengan amal-amal kebajikan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw, baik yang bersifat vertikal maupun yang bersifat horizontal. Seperti mendirikan shalat, memperbanyak doa karena doa pada bulan Ramadhan mustajab, memperbanyak membaca Alquran, mengkaji, dan memahami isi kandungannya secara baik, mengkaji hadits dan sirah Nabi Saw, melalui pengajian agama atau majelis ta’lim, memperbanyak bersedekah, banyak zikir dan beristighfar, menjaga lisan dan menyelesaikan sengketa sesama kaum muslimin, i’tikaf dalam masjid, dan sebagainya. Wallahua’lam.
Posted by zuljamalie@yahoo.co.id at 10:26:05 | Permanent Link | Comments (0) |
1 2
Cari

*

my advertisement
zuljamalie@yahoo.co.id

* Location:Banjar

Tag Cloud

* Ulama Banjar
* Ramadhan
* Guru Sekumpul
* Sultan Banjar
* Datu Kalampayan

My Music
Komentar terakhir

* You are thinking, lots of hard work, much clearer, super pro
* great capture,beautiful composition with rich colours.
* Thanks so very much for taking your time to create this very
* Tidak ada komentar, mohon di kirimkan copy kitab Barencong
* Kepada pembaca blog ini dipersilakan pula untuk membaca tuli
* Terimakasih atas apresiasi anda, sayangnya, sampai saat ini
* Ma’af kami tidak memberikan komentar tapi minta infomasinya

Blogroll

* Cahaya-Sufi
* Islam-Banjar

May, 2009
Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat
26 27 28 29 30 1 2
3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16
17 18 19 20 21 22 23
24 25 26 27 28 29 30
31 1 2 3 4 5 6
Arsip

* Juli – 2008
* September – 2007

* Random Blog

Tinggalkan sebuah Komentar

Ad Durr an Nafis

Islam di Tanah Banjar
Bermakna, Berbagi, dan Meyakini.
Sabtu, September 15, 2007
Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dan Kitabnya Al-Durr al-Nafis

Sejarah permulaan masuk dan perkembangan Islam di Banjarmasin pada dasarnya tidak lepas dari jasa, peranan dan perjuangan para ulama dan tokoh-tokoh Islam yang hidup pada masa dulu. Salah satu dari sekian banyak para ulama dimaksud yang cukup populer namanya tidak hanya di banua, akan tetapi juga di Asia Tenggara adalah Syekh M. Nafis bin Ideris bin Al Husien Al Banjary. Di samping dikenal sebagai ulama yang ahli di bidang syariat (fiqih) beliau juga ahli di bidang tasawuf, dan telah menulis sebuah kitab yang berjudul Al-Durr al-Nafis, di mana sampai sekarang isi dari kitab tersebut masih menjadi materi perdebatan kontroversi para ulama, karena ajaran-ajaran tasawufnya yang dianggap beraliran Wahdatul Wujud. Siapakah Syekh Muhammad Nafis? Bagaimana sejarah kehidupan dan perjuangan dakwahnya? Dan bagaimanakah pemikiran paham tasawufnya? Adalah sejumkah pertanyaan menarik untuk dikaji lebih jauh lagi. Tulisan singkat ini berusaha untuk membutiri kembali sejarah kehidupan, perjuangan dan pemikiran beliau.

Muhammad Nafis merupakan seseorang yang berasal dari kalangan bubuhan keluarga bangsawan kerajaan Banjar. Beliau dilahirkan di salah satu desa yang sekarang termasuk sebagai bagian wilayah Martapura. Secara pasti tahun kelahiran beliau belum dapat dipastikan, namun menurut Laily Mansur merujuk pada kitab Al-Durr al-Nafis yang ditulisnya bertahun 1200 H atau 1785 M, dan jika umurnya waktu itu lebih kurang 50 tahun, maka diperkirakan beliau dilahirkan pada tahun 1150 H/1735 M. Akan tetapi karena beliau dikatakan hidup sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary yang lahir pada tahun 1122 H/1710 M maka penulis lebih condong dan berasumsi bahwa umur beliau tentu tidak jauh beda dengan usia Muhammad Arsyad. Karena itu besar kemungkinan tahun kelahiran Muhammad Nafis sama atau mendekati tahun kelahiran Muhammad Arsyad, bedanya hanyalah lebih muda atau lebih tua, yakni antara tahun 1700-1720.

Adanya bakat dan kecerdasan yang tinggi dibanding dengan teman-teman sebayanya waktu itu, kelebihan-kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh anak-anak yang lain, dan tanda-tanda akan menjadi seorang ulama besar, sebagaimana yang juga terlihat dalam diri Syekh Muhammad Arsyad, membuat Sultan Banjar tertarik. Sehingga pada akhirnya Muhammad Nafis pun dikirim ke Mekkah bersama Muhammad. Arsyad untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu lainnya yang berguna untuk diterapkan dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat Banjar ketika itu. Salah satu dari ilmu agama yang digelutinya, bahkan menjadikan ia populer adalah ilmu tasawuf. Dalam ilmu tasawuf dan tariqat ini Muhammad Nafis telah berguru kepada Syekh Abdullah Ibn Hijazi al Syarkawi al Misri, Syekh Siddiq Ibn Umar Khan, Syekh Muhammad Ibn Abdul Karim Samman al Madani, Syekh Abdurrahman Ibn Abdul Aziz al Maghribi dan Syekh Muhammad Ibn Ahmad al Jauhari. Karena itu sebenarnya di bidang ilmu tasawuf dan tariqat yang seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary dan Abdussamad Al Palimbani.

Ahmadi Isa memperkirakan bahwa Muhammad Nafis pulang ke Banjarmasin pada tahun 1210 H/1795. Di mana pada masa itu yang memerintah di kerajaan Banjar adalah Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M). Setelah kembali ke Banjarmasin ia lebih mengarahkan dakwahnya ke daerah Kelua (Kabupaten Tabalong) dan sekitarnya sebagai daerah penting di pedalaman Kalimantan Selatan, jantung penyebaran Islam dan kunci masuk menuju daerah Kalimantan Timur. Sehingga dalam abad XVIII dan abad XIX daerah Kelua merupakan pusat penyiaran Islam di bagian Utara Kalimantan Selatan dan memiliki andil dalam gerakan-gerakan penyebaran Islam sampai kepada masa perjuangan merebut kemerdekaan.

Melihat lokasi yang menjadi medan gerak dakwahnya di atas penulis berasumsi bahwa besar kemungkinan kembalinya Syekh Muhammad Nafis ke banua terkemudian dari Syekh Muhammad Arsyad, itulah sebabnya ia lebih mengarahkan gerakan dakwahnya ke daerah Kelua dan sekitarnya yang masih kosong dan memerlukan pembinaan keagamaan. Karena perjuangan dakwah untuk Banjarmasin, Martapura dan daerah sekitarnya telah diisi oleh Syekh Muhammad Arsyad, sedangkan perjuangan dakwah untuk daerah bagian Selatan Banjarmasin seperti Rantau, Tambarangan dan sekitarnya dilakukan oleh Datu Sanggul, dan daerah Paringin-Balangan oleh Datu Kandang Haji.

Di samping itu boleh jadi pula bahwa dijadikannya Kelua sebagai pusat gerakan dakwahnya, disebabkan oleh ketidaksenangan Muhammad Nafis terhadap Belanda yang waktu itu sudah mulai ikut campur dan menguasai pusat kerajaan Islam Banjar. Kelua juga merupakan daerah yang strategis untuk kegiatan dakwah dan penyebaran agama Islam, karena letaknya di bagian utara kerajaan Islam Banjar waktu itu merupakan kunci masuk dan wilayah perbatasan antara wilayah kekuasaan kerajaan Banjar (Kalimantan Selatan) dengan wilayah Kalimantan bagian Tengah dan Kalimantan Bagian Timur.

Berbeda dengan Syekh Muhammad Arsyad yang lebih populer sebagai ulama syariat (ahli fiqih), Muhammad Nafis lebih dikenal sebagai seorang yang ahli tasawuf atau ulama tasawuf sampai ke negara-negara Asia Tenggara melalui bukunya Al-Durr al-Nafis. Judul lengkapnya adalah Al Durr al Nafis fi Bayan Wahdat al Af’al wa al Asma’ wa al Sifat wa al Zat, Zat al Taqdis, artinya Mutiara yang Indah yang Menjelaskan Kesatuan Perbuatan, Nama, Sifat dan Zat yang Suci, yang menurut riwayat ditulis dalam bahasa Arab Melayu berdasarkan permintaann kawan-kawannya dengan harapan dapat dibaca oleh mereka yang tidak pandai berbahasa Arab, ketika ia masih mukim di Mekkah.

Sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam Tariqat Sammaniyah (Zafri Zamzam), maka Muhammad Nafispun diakui oleh gurunya menguasai ilmu tasawuf dan tariqat yang diajarkan kepadanya dengan baik, sehingga dia diberi gelar oleh gurunya sebagai Syekh Mursyid. Gelar ini merupakan pengakuan bahwa ia boleh mengajarkan tasawuf dan tariqat kepada orang lain. Ketinggian ilmu tasawuf yang dimiliki oleh Muhammad Nafis juga terlihat dari gelar yang diberikan kepadanya, sebagaimana tercantum pada halaman pertama kitab Al-Durr al-Nafis yang ditulisnya, yakni Maulana al Allamah al Fahhamah al Mursyid ila Tariq al Salamah al Syekh Muhammad Nafis Ibn Idris al Banjary. Itulah sebabnya wajar jika kitabnya tersebut memiliki pengaruh yang luas terhadap orang-orang yang hidup di zamannya, dan sesudahnya, serta tersebar ke berbagai daerah di Nusantara, bahkan Timur Tengah.

Berdasarkan kajian bahasan, kitab Al-Durr al-Nafis tersebut berisikan ajaran-ajaran tasawuf yang tinggi sehingga dikatakan, “adalah rahasia yang amat halus dan perkataannyapun amat dalam, tiada mengetahui yang demikian kecuali ulama yang rasikh/ulama yang tinggi ilmu agama”. Sayangnya naskah asli yang di tulis tangan sendiri oleh pengarang, sampai sekarang belum ditemukan. Padahal menurut Laily Mansur pengaruh kitab ini cukup luas di kalangan masyarakat dan cukup dikenal oleh kaum muslimin di daerah Asia Tenggara yang berbahasa Melayu, selalu dibaca orang sejak terbitan pertama hingga sekarang, dicetak di Saudi Arabia, Mesir, Singapura dan Indonesia serta berpengaruh dalam risalah Amal Ma’rifah karangan Abdurrahman Siddiq Al Banjary tahun 1322 H dan risalah Kasyful Asrar karang Muhammad Saleh bin Abdullah Mangkabawi tahun 1344 H.

Berdasarkan naskah kitab tersebut oleh Laily Mansur disimpulkan bahwa kitab tersebut mengandung ajaran-ajaran tasawuf yang berintikan tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf yang terkandung di dalamnya meliputi maqamat, Tuhan, kejadian manusia, hubungan manusia dengan Tuhan yang kesemuanya mempunyai hubungan diales antara yang satu dengan yang lain hingga bernatijah bahwa wujud itu hanya satu. Laily Mansur menilai bahwa ajaran tasawuf Muhammad Nafis dipengaruhi oleh filsafat khususnya filsafat Neo Platonisme. Kemudian tauhid dalam ajaran Muhammad Nafis adalah tauhid sebagaimana yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al Jilli, yakni yang ada hanyalah Allah dan selain Dia adalah tidak ada, kalau selain Dia itu ada maka cara beradanya adalah melalui tajalli atau kezahiran hingga Dia berada di tiap zarrah ujud, dengan demikian paham tasawuf yang dikandung dalam kitabnya tersebut adalah paham wahdatul wujud yang melihat bahwa segala yang ada terdiri dari aspek luar (aradh dan al Khalq) dan aspek dalam atau batin/jauhar (yakni al haq), paham ini dipelopori oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim Jilli, Jalaluddin Rumi. Pokok pembahasan tentang tauhid tersebut mencakup tauhid af’al, tauhid asma, tauhid sifat dan tauhid zat.

Berdasarkan gambaran di atas pemikiran tasawuf Muhammad Nafis dapat dimasukan kepada corak pemikiran tasawuf falsafi yang berpaham Kesatuan Wujud atau Wahdatul Wujud. Sehingga ada beberapa ulama yang secara keras menyatakan bahwa ajaran yang terkandung dalam kitab Al-Durr al-Nafis tersebut haram untuk dipelajari dan dikaji. Bahkan ada pula yang lebih keras menyatakan bahwa barang siapa yang mempelajari bahkan meyakini isi dan ajaran dalam kitab tersebut maka ia menjadi kafir, sebab kitab tersebut mengajarkan paham Wahdatul Wujud sebagaimana difatwakan oleh mufti kerajaan Johor, Sayyid Alwi Thahir Haddad. Untuk itulah Hawash Abdullah penulis buku Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara menjelaskan bahwa pada zaman Indonesia dijajah oleh Belanda, mempelajari kitab ini diharamkan. Sehingga ada ulama yang kemudian juga menfatwakan bahwa kitab tersebut berisi ajaran yang sesat menyesatkan. Boleh jadi hal ini merupakan salah satu siasat politik Belanda, karena Belanda paham betul bahwa apabila orang sudah mempelajari ilmu tasawuf secara lurus dan mantap, maka orang tersebut tidak takut mati dan berjuang waja sampai kaputing memerangi penjajah yang dianggap kafir. Hawash Abdullah pada tahun 1972 juga pernah melakukan pelacakan ke berbagai daerah dan kepada para ulama untuk mengetahui secara pasti tanggapan mereka terhadap isi kitab tersebut, seperti di Pontianak Kalimantan Barat. Sayangnya di antara ulama yang mengecam kitab tersebut ada yang belum pernah membaca atau mempelajari kitab Al-Durr al-Nafis, tidak mengetahui secara pasti isi kitabnya dan bagian-bagian mana saja dari kitab tersebut yang dianggap salah dan menyimpang. Karena itulah selanjutnya argumentasi kelompok yang mengharamkan dan menganggap kitab Al-Durr al-Nafis sesat adalah lemah. Sebab kalau kitab Al-Durr al-Nafis tersebut menyesatkan, mengapa ia dipelajari oleh para ulama di Nusantara sejak beredarnya tahun 1200 H hingga sekarang, belum seorangpun di kalangan ulama sufi yang mengatakan bahwa kitab ini tidak berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.

Ahmadi Isa berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis yang dikarang oleh Muhammad Nafis itu berisi ajaran-ajaran Tauhid yang terjalin kelindan dengan tasawuf yang kadang-kadang sulit dan rumit, kecuali bagi ulama yang luas pengetahuan agamanya, paling tidak sudah mempunyai dasar-dasar ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf yang memadai. Pokok bahasan dan penjelasan di dalam kitab Al-Durr al-Nafis nampaknya berangkat dari ilmu tauhid, pengarangnya mendukung aliran tauhid Sunni Al Asy’ari sambil mengkirtik dan menyanggah aliran Mu’tazilah dan Jabariyah. Kemudian dia kembangkan tauhid para sufi sambil menolak paham hulul Al Hallaj dan Ittihad Abu Yazid Al Bustami. Di sisi lain dia menjembatani atau memadukan ajaran tasawuf sunni dengan tasawuf filosofis, antara lain dia padukan antara paham wahdatul syuhud dengan paham wahdatul wujud. Hal inilah yang pada akhirnya mengundang pendapat pro dan kontra terhadap ajaran tasawuf dalam karya tulisnya Al-Durr al-Nafis tersebut.

Akibat kontroversi, pro dan kontra tersebut setidak-tidaknya menurut Asmaran.AS. ulama yang menilai ajaran tasawuf kitab Al-Durr al-Nafis terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama kelompok yang memandang bahwa kitab Al-Durr al-Nafis adalah kitab tasawuf yang tidak boleh diajarkan, karena dianggap banyak mengandung kesalahan, atau tidak sejalan dengan ajaran tasawuf mazhab ahlussunnah waljamaah. Kedua kelompok yang melihat bahwa karena kitab Al-Durr al-Nafis sebagai kitab tasawuf yang mengandung ajaran tinggi, sebagaimana dikatakan oleh pengarangnya sendiri bahwa hanya ulama yang rasikh (tinggi pengetahuan agamanya) sajalah yang dapat memahami isi dan materi kitab tersebut, maka ia tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang. Karena itulah menurut kelompok kedua ini hanya orang-orang tertentu atau mereka yang memenuhi syarat saja yang boleh mempelajari dan membacanya. Kemudian kelompok ketiga berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis mempunyai kedudukan yang sama dengan kitab tasawuf pada umumnya. Karena itu sebagai salah satu aspek ajaran Islam ia tidak boleh dirahasiakan, setiap orang mukmin boleh mempelajari dan membacanya.

Penulis sendiri melihat bahwa adanya kontroversi terhadap isi ajaran tasawuf yang terkandung dalam kitab tersebut merupakan salah satu kekayaan intelektual di antara mereka yang berdebat, selama perbedaan dalam memahaminya bersifat profesional dan proporsonal serta bisa melahirkan gagasan-gagasan baru yang lebih baik dan sempurna. Karenanya dalam menilai permasalahan mengenai keberadaan dan paradigma pemikiran tasawuf Syekh Muhammad Nafis ini ada beberapa hal yang menjadi catatan penulis.

Pertama, naskah asli kitab tersebut sampai sekarang masih belum ditemukan sebagaimana pernah dilakukan oleh Ilham Masykuri Hamdi (1989) ketika melacaknya kepada beberapa ulama dan tokoh masyarakat, sehingga naskah yang ada sekarang diragukan keasliannya sebagai tulisan Muhammad Nafis dilihat dari sebagian isinya yang bertentangan dengan paham tasawuf Ahlussunnah wal Jamaah sebagaimana pengakuan Muhammad Nafis bahwa Syafi’i adalah mazhab fiqihnya, Asy’ary i’tiqad tauhid atau ushuluddinnya, Junaidi ikutan tasawufnya, Qadariyah tariqatnya, Satariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya dan Samaniyah minumannya. Terlebih-lebih lagi selama mengkaji ilmu tasawuf dan tariqat Muhammad Nafis seguru dengan Muhammad Arsyad dan Abdussamad Al Palimbani. Bahkan umumnya penerbit buku Al-Durr al-Nafis selalu mengingatkan bahwa mereka tidak pernah secara langsung menemukan naskah asli yang ditulis oleh Muhammad Nafis sendiri, karenanya tidak mustahil terdapat kekeliruan atau percampuran terhadap isi kitab tersebut.

Kedua, seandainya paham dan pemikiran tasawuf Muhammad Nafis adalah Wahdatul Wujud yang mirip dengan tasawuf Hulul Husien Mansur Al Hallaj, konsep tasawuf Al Fana dan Al Baqa atau Al Ittihad Abu Yazid Al Bustami yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun, atau konsep Wahdatul Wujud (unity of existence) Muhyidin Ibnu Arabi yang merupakan bentuk lain dari paham Ittihad, ataukah pula Manunggaling Kawula Gustinya Syekh Siti Jenar, mengapa keberadaan Muhammad Nafis atau bukunya Al-Durr al-Nafis tidak menimbulkan dan memicu terjadinya pergolakan di masanya sebagaimana yang terjadi dengan Abdul Hamid Abulung, Siti Jenar, atau Hamzah Fansuri? Lebih daripada itu sebagaimana penjelasan Ahmadi Isa di atas tasawuf yang dikembangkan oleh Muhammad Nafis tidaklah murni wahdatul wujud, sebagaimana kesimpulan Laily Mansur, tetapi lebih kepada wahdatul syuhud.

Ketiga, buku tersebut secara luas telah menjadi rujukan masyarakat dalam memahami ilmu tasawuf ketika itu ––bahkan sekarangpun di beberapa daerah negara-negara di Asia Tenggara masih dipelajari dan diajarkan secara lisan serta mengalami beberapa kali cetak ulang oleh beberapa penerbitan yang ada di Mekkah, Mesir, Basrah, Singapura, Surabaya––, dan mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap upaya pencerahan pemikiran dan spiritual umat, sehingga menurut H. Muhammad Djanawi (Ulama dari HSU Amuntai) orang yang sudah mempelajari ajaran tasawuf dalam kitab ini mereka akan merasa bangga. Namun walaupun menjadi rujukan dan berpengaruh luas terhadap masyarakat Islam diberbagai daerah, terutama di Kalimantan Selatan, namun tidak pernah terbetik adanya berita terhadap pencekalan isi atau larangan pengajarannya oleh pihak kerajaan Banjar baik pada masa pemerintahan Sultan Tahmidillah 1778-1808 M, Sultan Sulaiman 1808-1825 M maupun Sultan Adam Al Watsiq Billah 1825-1857 M dan masa-masa Sultan kerajaan Islam Banjar yang memerintahnya sesudahnya. Kecuali larangan yang dikeluarkan oleh Belanda, karena ketakutan mereka terhadap bangkitnya semangat orang-orang bumi putera dalam berjuang, berjihad guna mencapai kemerdekaannya. Sehingga mereka berkepentingan sekali untuk menghembuskan isu bahwa mempelajari kitab tasawuf seperti Al-Durr al-Nafis haram hukumnya.

Keempat, boleh jadi pasca peristiwa dihukum bunuhnya Syekh Abdul Hamid Abulung (Datu Abulung) yang dipancung karena perkataannya yang menyatakan bahwa syariat yang diajarkan pada masanya adalah kulit dan belum sampai kepada hakikat, untuk itu ia menyatakan statement baru bahwa “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, tiada aku melainkan Dia, Dialah aku dan aku adalah Dia”, serta eksistensi dan luasnya pengaruh buku tasawuf Al-Durr al-Nafis karya syekh Muhammad Nafis ini menjadi salah satu faktor penyebab ditulisnya risalah tasawuf Kanzul Ma’rifah oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary, yang menurut berita pada akhirnya dihadiahkan kepada salah seorang sultan Aceh (Idwar Saleh, 1980).
Dari penjelasan di atas kesimpulan yang menarik untuk menjadi bahan renungan adalah bahwa keberadaan atau sejarah hidup dan perjuangan, karya tulis dan corak pemikiran, pengaruh dan penyebarluasan ajaran tasawuf dari Syekh Muhammad Nafis dan kitabnya Al-Durr al-Nafis urgen untuk dikaji dan diteliti kembali secara lebih mendalam dan komprehensif. Wallahua’lam.
Posted by zuljamalie@yahoo.co.id at 07:12:10 | Permanent Link | Comments (0) |
Selasa, September 11, 2007
Riwayat dan Perjuangan Dakwah Syekh Abdul Wahab Bugis di Tanah Banjar

Pengantar
Selama ini, publikasi terhadap tulisan sejarah dan kehidupan tokoh-tokoh lokal begitu terbatas dan agak susah diakses. Wajar jika, tulisan saya yang berjudul “Ketokohan Syekh Abdul Wahab Bugis di Tanah Banjar” (Opini, Jum’at 2 Juli 2004) mendapat sambutan yang positif. Apresiasi terhadap tulisan tersebut memotivasi saya untuk lebih mengenalkan secara dekat tokoh-tokoh besar yang telah mengharumkan banua dalam perjuangan dan syiar dakwah serta dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Sehingga dengan adanya publikasi secara tertulis terhadap sedikit dari biografi dan pemikiran mereka yang bisa diramu, diharapkan generasi sekarang akan lebih tahu tentang sejarah hidup, sumbangan pikiran, dan perjuangan yang telah mereka curahkan untuk kejayaan Islam dan kesejahteraan hidup umat. Sehingga bermuara dari sini diharapkan tumbuh pula semangat yang sama untuk membangun dan memberikan yang terbaik bagi perkembangan banua, hari ini, besok, lusa dan masa yang akan datang. Untuk itu kita juga salut dengan SKH Kalimantan Post yang tetap concern menerbitkan tulisan-tulisan berkenaan dengan khazanah intelektual lokal.

Pada tulisan terdahulu dijelaskan bahwa dalam catatan sejarah, Syekh Abdul Wahab bertemu dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Madinah, dalam majelis ilmu gurunya (yang kemudian juga menjadi guru Syekh Muhammad Arsyad), Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi. Jika Syekh Muhammad Arsyad (dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani) lebih banyak menggunakan waktu mereka untuk menuntut ilmu di kota Mekkah (selama 30 tahun) dan Madinah (selama 5 tahun), maka Abdul Wahab (bersama dengan Syekh Abdurrahman Misri) lebih banyak memanfaatkan waktu mereka untuk menuntut ilmu di Mesir.

Pigur Syekh Abdul Wahab Bugis
Berdasarkan pendapat dari Karel S. Steenbrink sebenarnya riwayat hidup seorang tokoh dapat dilacak melalui dua sumber utama. Pertama sumber intern, yakni sumber yang berasal dari tokoh itu sendiri, misalnya karya tulis, biografi tentang sejarah hidupnya atau sumber tertulis lainnya. Kedua, sumber ekstern, yakni tulisan-tulisan yang mengetengahkan tentang riwayat hidup dan perjuangan dari seorang tokoh (1985: 91). Dalam konteks ini pendekatan pertama yang bersifat intern tidak bisa diterapkan, karena sampai sekarang tidak pernah ditemukan satupun karya tulis, buku, risalah, atau kitab karangan Syekh Abdul Wahab Bugis yang bisa dibaca dan ditelaah. Sedangkan pendekatan kedua yang bersifat ekstern yang mengetengahkan tentang riwayat hidup dan perjuangannya juga sangat terbatas dan sedikit sekali, bahkan hampir-hampir tidak ada. Sehingga wajar, walaupun Azyumardi Azra memasukkan Syekh Abdul Wahab Bugis sebagai salah seorang tokoh penting dalam konsep jaringan ulamanya, namun pengungkapan data, riwayat hidup, karier, dan perjuangannya sendiri hampir tidak ada (1994: 243).

Sebagaimana dikatakan, tulisan yang mengetengahkan riwayat hidup tokoh yang satu ini memang sangat sedikit, bahkan hampir-hampir tidak ada. Namun menilik dari namanya, Syekh Abdul Wahab Bugis –selanjutnya ditulis Abdul Wahab– orang sudah bisa menduga bahwa sebenarnya ia bukanlah asli orang Banjar, karena memang ia berasal dari Bugis, Makasar, Sulawesi Selatan. Tepatnya, menurut Abu Daudi (1996: 28), Abdul Wahab adalah seorang berdarah bangsawan, ia keturunan seorang raja yang berasal dari daerah Sadenreng Pangkajene, dan dilahirkan di sana. Sebagai seorang yang berdarah bangsawan ia diberi gelar Sadenring Bunga Wariyah. Jadi nama lengkapnya adalah Abdul Wahab Bugis Sadenreng Bunga Wariyah.

Pangkajene, daerah tempat kelahiran Abdul Wahab sekarang ini adalah adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) Sulawesi Selatan, ibukotanya adalah Tomapoa. Terletak di sebelah atau bagian barat dari propinsi Sulawesi Selatan. Di samping di kenal sebagai daerah pertanian yang subur dengan tanah pegunungan dan dataran rendahnya, daerah ini dikenal pula sebagai daerah perikanan. Salah satu peninggalan sejarah yang terkenal di daerah ini adalah Arojong Pangkajene (Depag RI, 1996: 786).

Tidak diketahui secara pasti kapan ia dilahirkan. Perkiraan penulis ia dilahirkan antara tahun 1725-1735, mengingat usianya yang lebih muda dibandingkan dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang dilahirkan pada tahun 1710 M.

Kedatangan Abdul Wahab ke Tanah Banjar seiring dengan kepulangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari setelah menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah selama lebih kurang 35 tahun, yakni pada tahun 1772 M. Pada saat itu yang memerintah di kerajaan Banjar adalah Pangeran Nata Dilaga bin Sultan Tamjidullah, sebagai wali putera mendiang Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1761-1787 M), yang kemudian sejak tahun 1781-1801 secara resmi memerintah sebagai raja Banjar dan bergelar Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah.

Abdul Wahab mengikuti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari setelah dinikahkan dengan Syarifah (Abu Daudi, 1996: 78). Walaupun kemudian diketahui bahwa Syarifah sendiri telah dinikahkan dengan Usman dan telah mendapatkan satu orang anak, bernama Muhammad As’ad. Tetapi setelah diteliti oleh Syekh Muhammad Arsyad berdasarkan hitungan Ilmu Falak maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan Abdul Wahab dengan Syarifah yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad dengan kedudukan Wali Mujbir di Mekkah lebih terdahulu waktunya daripada pernikahan Syarifah dengan Usman melalui Wali Hakim di Martapura. Karena itulah akhirnya pernikahan Usman dan Syarifah difasakh atau dibatalkan, dan ditetapkan bahwa Abdul Wahab-lah yang menjadi suami Syarifah.

Keputusan ini kemudian ditaati oleh keduabelah pihak, dan menurut cerita Usman akhirnya merantau ke daerah Palembang Sumatera Selatan, serta merintis terbentuknya sebuah desa di sana yang diberi nama Martapura. Karena itu boleh jadi di Indonesia, daerah yang bernama Martapura hanya ada dua, yakni Martapura di Kalimantan Selatan atau Martapura di Palembang (Sumatera Selatan).

Hasil perkawinannya dengan Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad ini melahirkan dua orang anak, masing-masing bernama Fatimah dan Muhammad Yasin. Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian dikawinkan dengan H.M. Said Bugis dan melahirkan dua orang anak, yakni Abdul Gani dan Halimah, sedangkan Muhammad Yasin tidak memiliki keturunan. Abdul Gani anak Fatimah kemudian kawin dengan Saudah binti H. Muhammad As’ad dan juga melahirkan dua orang anak, namun keduanya meninggal dunia. Sementara, Halimahpun juga tidak memiliki keturunan. Abdul Ghani kemudian kawin lagi dengan seorang wanita dari Mukah Sarawak dan mendapatkan lagi dua orang anak, yakni Muhammad Sa’id dan Sa’diyah. Muhammad Said kemudian kawin dan mendapatkan dua orang anak, bernama Adnan dan Jannah. Sedangkan Sa’diyah memiliki anak bernama Sailis, yang menurut cerita kemudian tinggal di Sekadu, Pontianak.

Tekad Abdul Wahab yang bulat untuk memperjuangkan dakwah Islam dan mengamalkan ilmu yang telah didapat ketika belajar di Mesir dan di Madinah, serta ikrar yang ia ucapkan bersama teman-temannya tatkala ingin kembali ke tanah air, semakin menguatkan keinginannya untuk mengabdikan ilmu dan baktinya di Tanah Banjar.

Pendidikan dan Ketokohan
Abdul Wahab dikenal sebagai salah seorang tokoh “empat serangkai”, yakni Syekh Abdurrahman al-Misri, Syekh Abdus Samad al-Palimbani, dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yang memiliki akhlak dan kepribadian sebagaimana akhlak dan kepribadian yang dimiliki oleh tokoh empat serangkai lainnya, sebagaimana digambarkan oleh Abu Daudi mereka adalah empat serangkai yang seiring sejalan, yang mendapat pendidikan dari guru yang sama, yang sama-sama mengutamakan ilmu dan amal, dan empat serangkai yang sama-sama pulang bersama serta mengemban tugas yang serupa. Ia adalah sahabat sekaligus menantu dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Jika Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di kota Mekkah, maka Abdul Wahab bersama dengan sahabatnya Syekh Abdurrahman Misri lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di kota Mesir. Sehingga dalam tulisan Abu Daudi, Abdul Wahab tercatat sebagai salah seorang murid dari Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi (Abu Daudi, 1996: 28, 31). Syekh Sulaiman al-Kurdi ini kemudian juga menjadi guru dari Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdusshamad al-Palimbani. Itulah sebabnya ia mengiringi gurunya itu ke kota Madinah ketika gurunya itu hendak mengajar, mengembangkan pengetahuan agama dan Ilmu Adab serta mengadakan pengajian umum.

Di kota Madinah inilah kemudian empat serangkai bertemu dan selanjutnya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Abdus Samad al-Palimbani pun mengikuti majelis pengajian Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi, yang kemudian memicu lahirnya tulisan Syekh Muhammad Arsyad yang berjudul “Risalah Fatawa Sulaiman Kurdi”. Risalah ini berupa naskah yang isinya menerangkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kepada Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi tentang keadaan atau tindakan Sultan Banjar yang memungut pajak dan mengenakan hukuman denda bagi mereka yang meninggalkan shalat Jum’at dengan sengaja, serta berbagai masalah lainnya. Risalah ini ditulis dalam bahasa Arab, dan belum pernah diterbitkan, namun naskah asli tulisan beliau sampai sekarang masih ada dan tetap tersimpan dengan baik pada salah seorang zuriat beliau di desa Dalam Pagar Martapura.

Kemudian atas anjuran dari Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi pula, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani yang haus ilmu pengetahuan yang semula berniat dan berencana untuk menambah ilmu ke Mesir tidak jadi berangkat ke sana, sebab ilmu pengetahuan yang mereka miliki telah dianggap cukup, untuk selanjutnya mereka disarankan segera pulang ke tanah air guna mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah didapat (Abu Daudi, 1996: 29).

Bandingkan dengan pendapat Azyumardi Azra (1994: 253), yang menyatakan bahwa Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani meminta izin dan restu kepada guru mereka Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri untuk menuntut ilmu ke Mesir, namun oleh Syekh Athaillah mereka disarankan untuk pulang ke tanah air mengamalkan ilmu yang telah didapat, sebab Syekh Athaillah percaya mereka (empat serangkai) telah memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup, sehingga akhirnya mereka tidak jadi menuntut ilmu ke Mesir, tetapi tetap ke sana untuk berkunjung. Sebagai tanda kunjungan akhirnya nama Syekh Abdurrahman al-Batawi ditambah dengan al-Misri.

Menurut riwayat, selama di kota Madinah, “empat serangkai” juga belajar ilmu tasawuf kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani, seorang ulama besar dan Wali Quthub di Madinah, sehingga akhirnya mereka berempat mendapat gelar dan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah Khalwatiyah.

Di samping tercatat sebagai murid dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani (seorang ulama besar dan Wali Quthub di Madinah) dan Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Abdul Wahab juga berguru kepada:

1. Abdul al-Mun’im al-Damanhuri, Ibrahim bin Muhammad al-Ra’is al-Zamzami al-Makki (1698-1780 M) yang terkenal sebagai ahli Ilmu Falak (Astronomi)

2. Muhammad Khalil bin Ali bin Muhammad bin Murad al-Husaini (1759-1791 M) yang terkenal sebagai ahli sejarah dan penulis kamus biografi Silk al-Durar

3. Muhammad bin Ahmad al-Jauhari al-Mishri (1720-1772 M) yang terkenal sebagai seorang ahli hadits

4. Athaillah bin Ahmad al-Azhari, al-Mashri al-Makki, yang juga terkenal sebagai seorang ahli hadits ternama serta dianggap sebagai isnad unggul dalam telaah hadits.

Dengan demikian jelas, bahwa guru-guru terkemuka Abdul Wahab di atas juga merupakan guru-guru dari tokoh empat serangkai yang lainnya.

Perjuangan Dakwah
Di samping Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai motor penggerak utama kegiatan dakwah Islam di Tanah Banjar, Abdul Wahab juga memiliki peranan yang penting dalam mengembangkan Islam di Tanah Banjar, mengingat kedudukan dan figur Abdul Wahab sebagai seorang ulama yang dikenal alim dan sekian lama menuntut ilmu di Mesir dan daerah Timur Tengah.

Perjuangan utama Abdul Wahab Di Tanah Banjar sendiri adalah membantu Syekh Muhammad Arsyad mendakwahkan Islam di wilayah kerajaan Banjar yang waktu itu belum begitu berkembang. Mulai dari mengajarkan Islam kepada keluarga kerajaan, mendidik kader-kader dakwah, sampai dengan membangun desa Dalam Pagar, yang kemudian berkembang menjadi pusat penyebaran dan pengajaran Islam di Kalimantan.

Pertama, mengajarkan agama Islam kepada kaum bangsawan dan keluarga kerajaan Banjar. Hal ini terlihat dari awal kedatangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Abdul Wahab Bugis di tanah Banjar (Martapura) pada bulan Ramadhan tahun 1208 H/1772 M yang disambut meriah oleh seluruh komponen masyarakat Banjar, tidak hanya masyarakat biasa akan tetapi juga kaum bangsawan dari kerajaan Banjar. Mengingat Syekh Muhammad Arsyad sendiri sudah dianggap dan diakui sebagai bubuhan kerajaan, terlebih-lebih lagi manakala mengetahui status Abdul Wahab yang juga seorang bangsawan, sehingga oleh pihak kerajaan ia diberikan tempat untuk tinggal dalam istana. Menjadi guru agama di Istana dan mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada bubuhan kerajaan.

Kedua, membantu Syekh Muhammad Arsyad membuka perkampungan Dalam Pagar yang telah dihadiahkan oleh kerajaan Banjar kepada beliau sebagai tanah lungguh. Mengingat tekad kuat dan ikrar setia yang disampaikan oleh Abdul Wahab untuk mensyiarkan agama Islam di tanah air, sesuai dengan pesan guru mereka ketika masih di kota Madinah, ia juga aktif mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat luas yang datang berbondong-bondong ke Dalam Pagar yang sudah dikenal dan menjadi pusat pendidikan serta penyiaran agama Islam pada masa itu.

Ketiga, di samping itu Abdul Wahab sebagai menantu dan sekaligus sahabat Syekh Muhammad Arsyad yang juga memiliki pengetahuan agama yang luas dan alim, diduga sedikit banyak beliau ikut menyumbangkan ilmu, pendapat, dan pandangannya –sumbang saran– terhadap berbagai masalah-masalah keagamaan yang terjadi di Tanah Banjar. Dengan kata lain Abdul Wahab merupakan teman diskusi atau mudzakarah agama Syekh Muhammad Arsyad. Hal ini terlihat dari adanya istilah-istilah tertentu dalam Bahasa Bugis –walaupun dalam jumlah yang sangat kecil, dan untuk hal ini lebih jauh perlu dilakukan penelitian dan pengkajian kembali melalui pendekatan Linguistik– pada penulisan dan penyusunan risalah atau kitab-kitab yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, terutama Kitab Sabilal Muhtadin.

Mengingat kedudukan dan kedekatannya, sumbangan pemikiran Abdul Wahab terhadap sejumlah karya tulis Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dapat saja terjadi, mengingat bahwa:

1. Abdul Wahab adalah salah seorang ahli Fiqih dan murid dari Imam Haramain, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri, yang lama menuntut ilmu di Mesir dan Haramain, beliau adalah seorang yang alim, sahabat sekaligus menantu yang berjuang berdampingan bersama Syekh Muhammad Arsyad, mewujudkan ikrar yang telah ditetapkan ketika berkumpul bersama-sama (dengan tokoh empat serangkai lainnya) sesudah menuntut ilmu di Madinah, dan akan pulang ke tanah air.

2. Abdul Wahab adalah salah seorang tokoh dari “empat serangkai” yang mendapatkan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah ketika keempatnya belajar dan mengkaji ilmu tasawuf atau tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani.

3. Abdul Wahab dianggap sebagai tokoh penting dalam jaringan ulama Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19 karena keterlibatannya secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama tersebut. Ketokohannya diakui dan dapat dilihat dari gelar syekh yang beliau sandang. Sebab gelar syekh dalam khazanah masyarakat Banjar mengisyaratkan kealiman penyandangnya, sekaligus pula menjadi penanda bahwa yang bersangkutan pernah atau lama mengkaji ilmu di Tanah Haramain (Mekkah atau Madinah). Karena itulah di samping diangkat menjadi guru di istana kerajaan Banjar oleh sultan, dalam kehidupan masyarakat luas pun ia dihormati dan dijadikan sebagai guru rohani mereka.

Keempat, untuk mendidik dan membina kader-kader penerus dakwah Islam, Syekh Muhammad Arsyad telah membuka daerah Dalam Pagar, mendirikan surau, rumah tempat tinggal sekaligus mandarasah yang menjadi tempat untuk belajar masyarakat, mengkaji dan menimba ilmu, sekaligus tempat untuk mendidik kader-kader dakwah. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari bersama Abdul Wahab telah membangun sebuah pusat pendidikan Islam yang serupa ciri-cirinya dengan surau di Padang Sumatera Barat, rangkang, meunasah dan dayah di Aceh, atau pesantren di Jawa.

Bangunan tersebut terdiri dari ruangan-ruangan untuk belajar, pondokan tempat tinggal para santri, rumah tempat tinggal Tuan Guru atau kyai, dan perpustakaan. Oleh Humaidy lembaga pendidikan Islam ini, sebagaimana istilah yang biasa dipakai di kawasan dunia Melayu, seperti Riau, Palembang, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Fattani (Thailand) disebut punduk. Sehingga Dalam Pagar akhirnya berhasil menjadi locus dan kawah candradimuka paling penting untuk mendidik serta mengkader para murid yang kemudian hari menjadi ulama terkemuka di kalangan masyarakat Kalimantan.

Tentu di masa-masa sulit seperti ini beliau berdua dengan anak menantu dan sekaligus sahabatnya, Abdul Wahab Bugis saling membantu, mengisi, dan membina kader-kader dakwah yang banyak jumlahnya tersebut. Hasilnya, di samping berhasil menjadikan anak cucu mereka –Fatimah dan Muhammad Yasin bin Syekh Abdul Wahab Bugis serta Muhammad As’ad bin Usman (mufti pertama di kerajaan Banjar)– sebagai ulama, membentuk kader-kader masyarakat yang kelak menjadi ulama terkemuka, mereka berdua juga berhasil membentuk masyarakat Islam Banjar yang memiliki kesadaran untuk berpegang pada ajaran agama Islam melalu dakwah bil-lisan, bil-kitabah, dan bil-hal, serta diteruskan kemudian oleh generasi-generasi dan kader-kader yang telah dibina melalui upaya pengiriman juru dakwah ke berbagai daerah yang masyarakatnya sangat memerlukan pembinaan agama, dari sini akhirnya dakwah terus berkembang dan ajaran Islam semakin tersebar luas ke tengah-tengah masyarakat Banjar.

Perkembangan dakwah Islam yang begitu menggembirakan, pada akhirnya memicu simpatik Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidillah untuk memberikan keleluasaan kepada Syekh Muhammad Arsyad untuk lebih memantapkan dan mengembangkan Islam di Tanah Banjar secara melembaga, agar agama Islam benar-benar menjadi way of life, keyakinan dan pegangan masyarakat Banjar khususnya, dan Kalimantan umumnya.

Sultan Banjar berkeinginan pula untuk menertibkan dan menyempurnakan peraturan yang telah dibuat berdasarkan hukum Islam, wadah atau badan yang menjaga agar kemurnian hukum dapat diterapkan, dan yang lebih penting lagi adalah agar roda pemerintahan di kerajaan benar-benar dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tuntunan agama. Sehingga bermula dari sinilah kemudian timbul lembaga-lembaga dan jabatan-jabatan keislaman dalam pemerintahan, semacam Mahkamah Syar’iyah, yakni Mufti dan Qadli.

Mufti adalah suatu lembaga yang bertugas memberikan nasihat atau fatwa kepada sultan masalah-masalah keagamaan, jabatan mufti kerjaan Banjar yang pertama dipegang oleh H. Muhammad As’ad bin Usman (cucu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari). Sedangkan qadli adalah mereka yang mengurusi dan menyelesaikan segala urusan hukum Islam, terhadap masalah perdata, pernikahan, dan waris, jabatan qadli yang pertama dipegang oleh H. Abu Su’ud bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Sampai akhirnya Syariat Islam diterapkan sebagai hukum resmi yang mengatur kehidupan masyarakat Islam di tanah Banjar pada masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah (1825-1857 M), yang dikenal dengan nama Undang-Undang Sultan Adam (UUSA). Dibentuk dan diberlakukannya UUSA ini bertujuan untuk mengatur agar kehidupan beragama masyarakat menjadi lebih baik, mengatur agar akidah masyarakat lebih sempurna, mencegah terjadinya persengketaan, dan untuk memudahkan para hakim dalam menetapkan status hukum suatu perkara.

UUSA ini antara lain berisikan, Pasal 1 sampai dengan pasal 2 berbicara tentang dasar negara yakni Islam yang Ahlu Sunnah wal Jamaah, pasal 4 sampai dengan pasal 22 menerangkan peraturan dalam peradilan berdasarkan mazhab Syafi’i, pasal 23 sampai pasal 27 berbicara tentang hukum tanah garapan, penjualan tanah, penggadaian, peminjaman dan penyewaan tanah yang harus dilakukan secara tertulis, serangkap di tangan hakim dan serangkap lagi di tangan yang berkepentingan. Gugatan terhadap tanah yang terjadi sebelum diberlakukan undang-undang dapat diajukan sebelum duapuluh tahun semenjak undang-undang ditetapkan, sedang tanah atau kebun yang terjual atau telah dibagi kepada ahli waris, dapat digugat selama sepuluh tahun dari tahun penjualan atau pembagian sampai undang-undang diberlakukan. Orang yang menang dalam perkara tidak boleh mengambil sewa selama berada di tangan tergugat.

Di samping alasan-alasan di atas yang mendasari aktivitas dan perjuangan dakwah Abdul Wahab di Tanah Banjar, sebagai seorang ulama yang alim, ahli Ilmu Fikih dan menguasai Ilmu Tasawuf, menurut asumsi penulis Abdul Wahab juga salah seorang ulama penyebar tarekat Sammaniyah (Pembahasan tentang peranan Syekh Abdul Wahab Bugis sebagai salah seorang pembawa dan penyebar tarekat Sammaniyah yang bercorak Khalwatiyah, di samping Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari lebih jauh dapat dilihat dalam tulisan saya yang berjudul: “Melacak Jejak Pembawa Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar”, Jurnal Khazanah, Volume II Nomor 05, September-Oktober 2003). Sehingga dalam konteks ini memungkinkan sekali jika ia menggunakan pendekatan dakwah sufistik dalam aktivitas dakwahnya, di samping pendekatan dakwah syariah.

Dimaksud dengan dakwah sufistik adalah usaha dakwah yang dilakukan oleh seorang muslim untuk mempengaruhi orang lain, baik secara individu maupun kolektif (jamaah) agar mereka mau mengikuti dan menjalankan ajaran Islam secara sadar, usaha ini dilakukan dengan pendekatan tasawuf, yakni pendekatan dakwah yang lebih menekankan pada aspek batin penerima atau objek dakwah (mad’u) daripada aspek lahiriyahnya.

Dengan kata lain pendekatan dakwah sufistik adalah dakwah dengan menggunakan materi-materi sufisme, yang di dalamnya terdapat aspek-aspek yang berhubungan dengan akhlak, baik akhlak kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada sesama manusia, bahkan akhlak terhadap semua makhluk ciptaan Allah seperti tawadlu’, ikhlas, tasamuh, kasih sayang terhadap sesama, dan lain-lain, sehingga pada akhirnya dalam diri mad’u timbul kesadaran untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah) sedekat-dekatnya agar memperoleh rahmat serta kasih sayang-Nya (Rosyidi, 2004: 46).

Apatah lagi, pada masa itu tasawuf dan berbagai tarekat yang ada telah memainkan peranan penting dalam perkembangan dan Islamisasi di Indonesia sejak abad XI Masehi. Di mana berlangsungnya Islamisasi di Asia Tenggara (termasuk di Indonesia), berbarengan dengan masa-masa merebaknya tasawuf abad pertengahan, dan pertumbuhan tarekat-tarekat, antara lain ajaran Ibn al-‘Arabi (w. 1240 M), ‘Abd al-Qadir al-Jailani (w. 1166 M) yang ajarannya menjadi dasar Tarekat Qadiriyah, ‘Abd al-Qahir al-Suhrawardi (w. 1167 M), Najm al-Din al-Kubra (w. 1221 M) dengan tarekatnya Kubrawiyah, Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 1258 M) dengan tarekatnya Syadziliyah, Baha’u al-Din al-Naqsyabandi (w. 1389 M) dengan tarekatnya Naqsabandiyah, ‘Abd Allah al-Syattar (w. 1428 M) dengan tarekatnya Syattariyah, dan sebagainya (Martin, 1985: 188). Sehingga tasawuf merupakan sesuatu yang sangat diminati, tak terkecuali pula halnya dengan masyarakat Banjar yang telah memiliki bibit-bibit ketasawufan tersebut. Lebih dari itu, Islam yang masuk yang berkembang di Indonesia sendiri menurut para ahli adalah Islam yang bercorak tasawuf (Yunasir, 1987: 94).

Sayangnya, perjuangan dakwah Abdul Wahab tidak begitu panjang, ia meninggal terlebih dahulu dan lebih muda setelah sekian lama berjuang bahu-membahu mendakwahkan Islam bersama dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yakni lebih kurang 10-15 tahunan.

Tidak diketahui secara pasti memang kapan tahun meninggalnya, namun diperkirakan antara tahun 1782-1790 M, dalam usian enampuluh tahunan. Tahun ini penulis dasarkan pada catatan tahun pertama kali kedatangannya (1772 M) dan tahun pemindahan makamnya. Di mana semula ia dikuburkan di pemakaman Bumi Kencana Martapura, namun oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian, bersamaan dengan pemindahan makam Tuan Bidur, Tuan Bajut (isteri dari Syekh Muhammad Arsyad), dan Aisyah (anaknya Tuan Bajut), makamnya kemudian dipindahkan ke desa Karangtangah (sekarang masuk wilayah desa Tungkaran Kecamatan Martapura) pada pada hari Selasa, 2 Rabiul Awal 1208 H (1793 M). Karena itu bisa diperkirakan bahwa, dihitung dari tahun pertama kedatangan hingga wafatnya, Abdul Wahab telah bahu-membahu dan memperjuangkan dakwah Islam mendampingi Syekh Muhammad Arsyad di tanah Banjar sekitar 10-15 tahun.

Ada pula yang menyatakan bahwa, Abdul Wahab setelah lama berkiprah di Tanah dan kerajaan Banjar serta sesudah kedua anaknya yakni Fatimah dan Muhammad Yasin dewasa, ia kemudian pulang dan meninggal di kampung halamannya Pangkajene, Sulawesi Selatan (Zamam, 1978: 13).

Namun, Berdasarkan catatan pemindahan makamnya yang sampai sekarang masih disimpan oleh Abu Daudi, dapat disimpulkan bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis sebenarnya tidak pulang ke daerah asalnya tetapi meninggal lebih muda dari Syekh Muhammad Arsyad. Karena itu data ini lebih kuat dari yang dikatakan oleh Zafri Zamzam bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis pulang ke daerah asal beliau (Pangkajene) dan meninggal di sana.

Demikianlah, Syekh Abdul Wahab Bugis telah membaktikan ilmu, waktu, dan hidupnya untuk memperjuangan dakwah Islam di Tanah Banjar. Seyogianya peranan, jasa dan perjuangannya itu menjadi cermin bagi generasi sekarang untuk meninggalkan amal shalih yang sama, sehingga berguna bagi generasi selanjutnya untuk membangun dan mengembangkan masyarakatnya.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa Abdul Wahab Bugis, kawan seperguruan, sahabat, dan sekaligus menantu dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari juga memiliki peran dan jasa yang besar dalam mendakwahkan Islam di Bumi Kalimantan. Mulai dari mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan pada keluarga atau bubuhan bangsawan di kerajaan Banjar sampai membangun tanah lungguh desa Dalam Pagar menjadi locus utama dakwah Islam, pendidikan, dan pengkaderan kader-kader yang kelak menjadi pejuang dakwah diberbagai daerah yang menjadi sebarannya di Kalimantan.

Mengingat ketokohan, akhlak, dan keilmuan yang dimilikinya yang memang diakui, serta melalui kebersamaan sebagaimana yang telah diikrarkan, bahu-membahu, dan ikhlas berjuang bersama Syekh Muhammad Arsyad, Abdul Wahab berhasil menempatkan posisi dirinya sebagai ulama pejuang dalam rangka menjadikan Islam sebagai pola kehidupan masyarakat Banjar, baik bidang kenegaraan maupun bidang sosial kemasyarakatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasir, Pengantar Ilmu Tasawuf, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1987.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Mizan, Bandung, 1994.

Basuni, Ahmad, Nur Islam di Kalimantan Selatan, Bina Ilmu, Surabaya, 1996.

Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat : Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1999.

Daudi, Abu, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Tuan Haji Besar. Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum Dalam Pagar Martapura, 1996.

Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999.

Halidi, Yusuf, Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Bina Ilmu, Surabaya, 1984.

Humaidy, “Tragedi Datu Abulung : Manipulasi Kuasa Atas Agama”, Kandil, edisi 2 Tahun I, September 2003.

Jamalie, Zulfa, “Melacak Jejak Pembawa Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar”, Jurnal Khazanah, Volume II Nomor 05, September-Oktober 2003.

Marwan, Muhammad, Manakib Datu Suban dan Para Datu, Toko Buku Sahabat, Kandangan, 2001.

Masdari dan Zulfa Jamalie (ed.), Khazanah Intelektual Islam Ulama Banjar, Pusat Pengakjian Islam Kalimantan (PPIK) IAIN Antasari, Banjarmasin, 2003.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, Jakarta, 1994.

Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal : Menentramkan Jiwa Mencerahkan Pikiran, Khazanah Populer Paramadina, Jakarta, 2004.

Sasono, Adi dkk, Solusi Islam Atas Problematika Umat, Gema Insani Press, Jakarta, 1998.

Steenbrink, Karel S. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1985.

Zamzam, Zafry, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai Ulama Juru Dakwah dalam Sejarah Penyiaran Islam di Kalimantan Abad ke-13H/18 M dan Pengaruhnya di Asia Tenggara, Percetakan Karya, Banjarmasin, 1974.

Posted by zuljamalie@yahoo.co.id at 16:42:57 | Permanent Link | Comments (0) |

Tinggalkan sebuah Komentar

Pangeran Suriansyah

Islam di Tanah Banjar
Bermakna, Berbagi, dan Meyakini.
Sabtu, September 15, 2007
Sultan Suriansyah
SULTAN SURIANSYAH DAN PROKLAMASI ISLAM

DI TANAH BANJAR

Oleh Zulfa Jamalie

(Pengurus elkisab: Lembaga Kajian Islam, Sejarah, dan Budaya Banjar)

Salah satu peninggalan kerajaan Islam Banjar yang sampai sekarang masih bisa dilihat oleh generasi sekarang sesudah lebih kurang 4 abad yang lalu adalah Masjid Sultan Suriansyah di Kuin. Sebagaimana namanya masjid ini dibangun pada masa pemerintahan raja Banjar pertama yakni Sultan Suriansyah yang sebelumnya bernama Raden Samudera. Besar kemungkinan masjid ini dibangun pada tahun 1528-an sesudah terjadinya pengislaman sebagian masyarakat Banjar, karena itu diperkirakan usianya tidak kurang dari 450 tahun sudah. Menurut cerita yang mendapatkan tugas mengumpulkan alat-alat bangunan atau kayu untuk bangunan masjid ini adalah seseorang yang bernama Patih Anom alias Arya Malingkang atau Datu Pujung, seorang tokoh yang disegani dan mempunyai kekuatan luar biasa. Oleh Patih Anom didatangkan empat buah tiang soko guru dari kayu Halayung yang besar, karenanya konstruksi pertama masjid ini terdiri dari tiang soko Halayung, lantai Halayung dan atap dari dari daun rumbia, letaknya berjarak lebih kurang 500 meter dari istana sultan.

Masjid Sultan Suriansyah ini sudah mengalami beberapa kali pemugaran, perbaikan dan pergantian, misalnya tiang soko yang dulunya dari kayu Halayung diganti dengan kayu Bulan dan terakhir diganti dengan kayu Besi (Ulin). Kemudian atap yang dulunya rumbia diganti dengan atap sirap, begitu pula dengan dindingnya, yang sekarang sudah beton/semen. Pada zaman pemerintahan Sultan Tamzidillah I pernah diadakan perubahan, bentuk masjid dibuat berloteng empat tingkat yang ditambah dengan unsur-unsur yang belum ada pada aslinya, yaitu unsur menara empat rangkap. Loteng yang empat rangkap tersebut mengandung nilai-nilai religius dan filsafat ketuhanan yang tinggi, tingkat pertama mengandung pengertian syariat, kedua tariqat, ketiga adalah ma’rifat dan keempat adalah hakikat. Ada ukiran dan tulisan dari huruf Arab yang terdapat disalah satu pintunya dan merupakan wakaf dari Sultan Tamzidillah, kemudian juga ada sebuah mimbar berukir dari kayu ulin yang dibuat pada tahun 1292 H atau 1867 M.

Sebagai salah satu peninggalan sejarah dan aset umat yang berharga ada satu hal menarik dari keberadaan Masjid Sultan Suriansyah yang sedang mengalami pemugaran sekarang ini, yakni benarkah bahwa ia merupakan masjid tertua dan masjid pertama yang didirikan di Bumi Kalimantan (Banjarmasin)? Bila didasarkan pada catatan sejarah yang ada maka statement pertama pertanyaan di atas akan kita jawab dengan jawaban benar, sebab masjid ini memang merupakan masjid yang paling tua. Namun jawaban benar tersebut ternyata masih diragukan untuk pertanyaan yang kedua, sebab apabila di telusuri lebih jauh lagi tentang sejarah masuk dan perkembangan agama Islam di Bumi Kalimantan boleh jadi bahwa masjid pertama yang dibangun di Banua ini bukanlah masjid Sultan Suriansyah. Karena itu tulisan singkat ini bermaksud untuk membuka kembali wawasan kita tentang peristiwa permulaan masuknya Islam di Banua Banjar pada empatratus tahunan yang lampau menjelang kelahiran kota Banjarmasin.

Berdasarkan hikayat Banjar diceritakan bahwa cikal bakal berdiri kerajaan dan kota Banjarmasin bermula dari terjadinya perebutan suksesi kepemimpinan di kerjaan Daha (Negara Kabupaten Hulu Sungai Selatan) yang didirikan oleh Empu Djatmika pada tahun 1400 akhir. Berdasarkan wasiat raja Daha terakhir Maharaja Sukarama yang berpesan kepada putra-putri dan rakyat agar yang menggantikannya menjadi raja bila ia wafat adalah P. Samudera. Pesan ini ditentang oleh oleh P. Tumenggung dan putra lainnya. Karenanya ketika Maharaja Sukarama benar-benar wafat dan P. Samudaera masih kecil maka tak pelak lagi kerusuhan dan perebutan kekuasaan terjadi dalam kerajaan, sehingga oleh seorang Mahapatih (Mangkubumi) raja yang arif bijaksana bernama Arya Trenggana P. Samudera diungsikan ke daerah Banjarmasin yang waktu itu belum lagi dikenal, misalnya dalam kitab Negarakertagama disebutkan bahwa daerah yang dijadikan sebagai jajahan Majapahit di Kalimantan Selatan adalah Barito, Sawku dan Tabalong. Begitu pula dalam Sunda Manuscript 1518 atau Castanheda tak ada samasekali suatu bukti positif yang menyebutkan nama Banjarmasin.

Pengungsiannya ke daerah Banjarmasin yang dekat dengan daerah pelabuhan Muara Bahan (Marabahan) telah mempertemukan P. Samudera dengan Patih Masih yang menjadi pemimpin desa Oloh Masi yang meliputi daerah Kuin, Belitung, Tamban dan sekitarnya sekarang ini. Patih Masih adalah adalah patih dari golongan Oloh Masi atau orang Melayu, yang sebagai seorang patih memungkinkan ia mengetahui hal-hal dan perkembangan politik di Negara Daha, karena itu tak heran jika inisiatif pertama untuk merajakan P. Samudera datang dari orang-orang Melayu yang tinggal di pesisir Kuin. Ada dua alasan kenapa Patih Masih merasa berkepentingan untuk merajakan Raden Samudera, pertama karena ia dan masyarakatnya tidak mau lagi melihat daerahnya sebagai daerah jajahan yang terus-menerus mengantar upeti ke Negara Daha kepada Pangeran Tumenggung. Kedua sesuai dengan wasiat Maharaja Sukarama yang berhak menduduki kursi kerajaan Negara Daha sebenarnya adalah P. Samudera. Itulah sebabnya sesudah P. Samudera di rajakan mereka bersepakat untuk merebut bandar Muara Bahan dan menjadikannya sebagai bandar utama. Peristiwa ini menimbulkan terjadinya pertentangan yang semakin sengit sekaligus ketakutan penguasa kerajaan Negara Daha atas pengaruh yang lebih besar dari P. Samudera, sehingga pada akhirnya memicu terjadinya peperangan antara P. Samudera yang berdiam di daerah pesisir (muara Banjar) dengan P. Tumenggung penguasa daerah pedalaman. Perang keluarga antara Pangeran Samudera yang merupakan anak sepupu dari Pangeran Tumenggung diperkirakan terjadi pada tahun 1526, sebab pada masa itulah dilakukan pengiriman armada dan bantuan pasukan ke Banjarmasin oleh penguasa Kerajaan Demak Sultan Trenggana. Akhir dari peperangan keluarga tersebut dimenangkan oleh Raden Samudera dengan timbulnya kesadaran dari P. Tumenggung bahwa Raden Samuderalah yang berhak atas tahta kerajaan, sehingga akhirnya oleh Raden Samudera sebagian penduduk bekas kerajaan Negara Daha diimigrasikan ke Banjarmasin.

Dari gambaran di atas ada beberapa hal kembali yang menarik untuk dikaji ulang dalam konteks masuknya Islam di Kalimantan. Pertama penulis berasumsi bahwa jauh sebelum Raden Samudera memasuki Kuin, sebagian masyarakat Banjarmasin sudah ada yang beragama Islam, sebab letak Banjarmasin yang merupakan daerah pesisir laut dan dekat bandar Marabahan memungkinkan daerah ini untuk dikunjungi oleh mubalig-mubalig Islam dari daerah Sumatera dan Jawa. Karena itu menurut salah satu berita diriwayatkan bahwa salah seorang Walisongo yakni Sunan Giri atau Sultan Muhammad Ainul Yaqin ketika masih mengaji ilmu di pesantrennya Sunan Ampel Surabaya ia yang bernama kecil Joko Samudera pernah diutus, ditugaskan berdakwah dan mengadakan pelayaran ke pulau Banjar. Besar kemungkinan ketika tugas dakwah itu dilaksanakan oleh Sunan Giri Banjarmasin belum menjadi kota pelabuhan besar dan tidak disebut-sebut oleh orang, lebih-lebih lagi pada saat itu kerajaan Islam Banjar belum dibentuk oleh R. Samudera atau Sultan Suriansyah. Sehingga berita kedatangan Sunan Giri tersebut tidak kita temukan, karena memang belum tercatat secara jelas. Kedatangan Sunan Giri ke Banjarmasin ini membuktikan bahwa sesungguhnya ada sebagian dari masyarakatnya yang sudah memeluk agama Islam.

Kedua penulis berasumsi bahwa Patih Masih yang menjadi pemimpin orang-orang Melayu di Banjarmasin sebenarnya adalah seorang yang telah memeluk agama Islam, karenanya ia berusaha keras untuk menghapuskan dan melepaskan dominasi kekuasaan kerajaan Negara Daha yang beragama Budha/Hindu terhadap Banjarmasin dan daerah sekitarnya. Dengan cara merajakan Raden Samudera penerus atau generasi keturunan kerajaan Negara Daha/Negara Dipa yang terbuang dan membuat satu konsensus serta mendidik P. Samudera di rumahnya dalam lingkungan orang-orang Islam. Itulah sebabnya ketika Patih Masih mengusulkan dan mengutus Patih Balit untuk meminta bantuan kepada kerajaan Islam Demak (Jawa Tengah) Raden Samudera menyetujuinya. Dan sebagai seorang muslim setidaknya Patih Masih telah memiliki akses masuk ke kerajaan Demak, sehingga Demak mau membantu dengan satu syarat bahwa Islam harus dijadikan sebagai agama resmi negara oleh Pangeran Samudera dan rakyatnya kelak. Syarat ini dipenuhi oleh Raden Samudera yang pada akhirnya berganti nama menjadi Sultan Suriansyah, memaklumkan berdirinya kerajaan Islam Banjar, serta meresmikan diterimanya Islam secara luas oleh masyarakat Banjar dengan didirikanya masjid Sultan Suriansyah Kuin sebagai pusat peribadatan dan kegiatan dakwah.

Asumsi penulis yang ketiga adalah bahwa berdasarkan argumentasi di atas rasanya mustahil jika diterimanya Islam sebagai agama resmi masyarakat Banjar tanpa menimbulkan keributan, kerusuhan dan pergolakan, apabila agama Islam belum berakar atau dipeluk oleh sebagian besar masyarakat Banjar. Dengan kata lain pergolakan akan terjadi jika sebagian besar masyarakatnya adalah penganut agama Budha atau Hindu. Namun ternyata kerusuhan tidak terjadi dan tidak pernah ada dalam catatan sejarah, sehingga membuktikan bahwa Islam sebelum diakui sebagai agama resmi negara telah terlebih dahulu dipeluk oleh sebagian masyarakat Melayu Banjar. Karenanya peristiwa pengislaman masyarakat Banjar yang dilakukan oleh ulama utusan kerajaan Demak Khatib Dayyan lebih banyak ditujukan kepada masyarakat kerajaan Negara Daha yang telah imigrasi ke daerah Banjarmasin dan sekitarnya.

Asumsi yang keempat didukung oleh data dan fakta bahwa sampai sekarang tidak ditemukan bukti-bukti yang bisa menguatkan bahwa di daerah Banjarmasin ada bangunan atau tempat peribadatan khusus agama Budha atau Hindu berupa candi seperti yang ditemukan di Amuntai (Candi Agung) dan di Margasari (Candi Laras) atau patung-patung yang bercorak Budha serta bekas-bekas yang menjadi bukti kuat bahwa agama Budha/Hindu tidak dianut secara umum oleh orang-orang yang mendiami daerah pesisir Banjarmasin dan sekitarnya.

Berdasarkan keempat asumsi dan argumentasi di atas maka penulis berkeyakinan bahwa masjid pertama yang didirikan di Bumi Kalimantan bukanlah masjid Sultan Suriansyah, tetapi ada masjid-masjid lain yang dibangun oleh masyarakat Islam Banjar terlebih dahulu. Akan tetapi keberadaan masjid-masjid tersebut tidak bisa dipertahankan karena dimakan oleh waktu dan usia, atau boleh jadi karena bentuk dan bahan bangunan yang masih bersifat sederhana, sehingga tidak bertahan lama, tidak tercatat dan dianggap tidak memiliki nilai sejarah yang menjadi tanda dari suatu peristiwa. Boleh jadi pula bahwa tempat lokasi bangunan Masjid Sultan Suriansyah sekarang pada mulanya adalah masjid kecil yang hanya mampu menampung sejumlah kecil jamaah dan konstruksi yang sederhana, sehingga perlu untuk dibangun kembali dengan model dan konstruksi yang lebih baik, lebih kuat dan lebih besar sebagaimana yang terlihat sekarang. Sebab Masjid Sultan Suriansyah merupakan tanda diterimnya Islam secara resmi oleh kerajaan, tempat peribadatan raja dan kaum bangsawan, tempat pertemuan dan peringatan keagamaan rakyat dan kerajaan. Karena itulah eksistensinya dianggap sebagai bangunan penting yang harus tetap lestari, dikenang, dan dicatat tinta sejarah.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa, pertama Masjid Sultan Suriansyah hanyalah masjid pertama yang dibangun oleh penguasa (pihak kerajaan Banjar) sebagai bukti dan pemenuhan konsensus yang telah disepakati oleh Raden Samudera atau Sultan Suriansyah dengan kerajaan Islam Demak di Jawa Tengah, bukan masjid pertama yang berdiri di bumi Kalimantan, sedangkan masjid pertama yang didirikan oleh masyarakat Islam Banjar hilang atau missing dalam catatan sejarah, apa namanya dan di mana bekas bangunannya? Kedua sebagian anggota masyarakat Banjar daerah muara atau pesisir sebagai salah satu kelompok yang menghuni Propinsi Kalimantan Sekarang sudah memeluk agama Islam jauh sebelum Raden Samudera atau Sultan Suriansyah memproklamirkan berdirinya kerajaan Islam Banjar. Karena itu masuknya Islam ke daerah ini diperkirakan tidak jauh berbeda dengan masuknya Islam ke Pulau Sumatera dan Jawa.
Posted by zuljamalie@yahoo.co.id at 07:49:20 | Permanent Link | Comments (0) |
<>
Komentar
Tulis komentar
Komentar

Cari

*

my advertisement
zuljamalie@yahoo.co.id

* Location:Banjar

Tag Cloud

* Ulama Banjar
* Ramadhan
* Guru Sekumpul
* Sultan Banjar
* Datu Kalampayan

My Music
Komentar terakhir

* You are thinking, lots of hard work, much clearer, super pro
* great capture,beautiful composition with rich colours.
* Thanks so very much for taking your time to create this very
* Tidak ada komentar, mohon di kirimkan copy kitab Barencong
* Kepada pembaca blog ini dipersilakan pula untuk membaca tuli
* Terimakasih atas apresiasi anda, sayangnya, sampai saat ini
* Ma’af kami tidak memberikan komentar tapi minta infomasinya

Blogroll

* Cahaya-Sufi
* Islam-Banjar

May, 2009
Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat
26 27 28 29 30 1 2
3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16
17 18 19 20 21 22 23
24 25 26 27 28 29 30
31 1 2 3 4 5 6
Arsip

* Juli – 2008
* September – 2007

* Random Blog

Tinggalkan sebuah Komentar

Islam Banjar

skip to main | skip to sidebar
Islam Forever

“Welcome to my World” Bumi tempat ku berpijak, dunia tempatku berkarya dan Hidup yang kuperjuangkan
Friday, March 16, 2007
BUDAYA BANJAR DAN ISLAM

Masyarakat banjar dan islam memiliki hubungan yang sangat erat, bahkan islam tidak dapat dilepaskan dari keseharian masyarakat ini terlihat dar berbaga adat dan budaya yang banyak berwarna islam,. Terlebih lagi banjar memiliki seorang ulama besar yang menulis berbagai kitab keislaman. Salah satunya adalah kitab Sabilal Muhtadin karya Syekh M. Arsyad Al-Banjari.

Karya beliau ini sangat masyhur bahkan sampai ke negeri tetangga Malaysia. Bahkan Universitas Kebangsaan Malaysia melakukan kunjungan kekabupaten Banjar dalam rangka menghormati tanah kelahiran penulis kitab Sabilal Muhtadin yang dijadikan literature dalam pendidikan di beberapa Negara bagian di Malaysia.

Banjar juga dikenal sebagai sebuah daerah yang agamis dimana masyarkatnya memegang islam dengan sungguh-sungguh, bahkan ada sebuah pameo, adalah hal yang memalukan bila orang banjar tidak bisa membaca Al-qur’an. Ini menunjukkan bahawa perasaan masyarakat akan Islam masih sangat kuat.

Dari sisi bangunan, maka daerah ini dikenal dengan serambi makkah, atau daerah dengan seribu masjid. Karena di banua ini banyak terdapat mesjid yang menjadi lambang bagi keberadaan Islam dan pemeluknya yang mayoritas di daerah ini.

Dari sisi sejarah tidak bias dipungkiri kedekatan islam dan perjuangan anak banua ini menuju kemerdekaan. Semua tidak terlepas dari pengaruh semangat jihad dalam islam. Perjuangan pembebasan banua ini dari penjajahan selalu dibawah komando panglima-panglima muslim yang juga merupakan keturunan ningrat dari raja-raja Banjar Semangat islam dan penerapan hukumnya -terlihat dari penulisan kitab-kitab dengan arab melayu- pada waktu itu, menunjukkan bahwa masyarakat banjar dan budayanya sangat erat dengan Syariat Islam.

Melihat berbagai hal ini, rasanya sangat wajar jika kita sebagai warga banua merasa sangat dekat dengan Islam dan sangat merindukan kembalinya suasana Islami dalam lingkungan kita. Namun sangat menyedihkan banua yang dikenal dengan keIslamannya ini kini tengah kehilangan/ luntur identitasnya.

Lunturnya budaya islam ini bukan pada hal yang berkenaan dengan ibadah sehari-hari, namun pada hal yang lebih besar lagi. Yakni pada hal yang berkenaan dengan social kemasyarakatan. Pada hal yang berkenaan dengan hukum dan pemerintahan. Dimana masyarakt islam banjar tidak lagi berhukum pada Allah tapi pada hukum yang lain. Sehingga mengakibatkan semakin tergerusnya keimanan ummat dan meningkatnya kejahatan moral dikalangan muda seperti seks bebas dikalangan murid SMU bahkan Aliyah, selain itu juga dengan narkoba. Hingga membuat kita bertanya masihkah kita hidup dilingkungan yang Islami?

Dengan semua potensi yang kita miliki sudah sepantasnya jika kita sebagai warga banua merindukan tegaknya kembali islam. Selain karena kedekatan histories juga karena dorongan dien. Sehingga Islam tidak lagi sekedar sebagai mata pelajaran pokok semata tapi juga landasan kehidupan dan standar bagi kemajuan, baik dan buruk dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Dan adalah sebuah hal yang sangat wajar jika kita warga banua yang mengawali penegakkan syariat Islam ini, dan menjadi mulia karena hal ini. Sehingga julukan serambi mekkah benar-benar menunjukkan sebagai serambi dari penegakkan syariat Islam, bukan sekedar sebutan semata. Seperti semboyan kita selama ini “haram mayarah waja sampai kaputing”. Jadi mari kita perjuangkan bersama Islam yang sudah menjadi nafas kehidupan dan sangat dekat dengan keseharian kita ini menjadi pengatur dalam semua bentuk kehidupan kita, dan tentunya dalam bentuk yang telah Allah gariskan yakni Khilafah Islamiyah.

Wallahu a’alam bi shawab.
Posted by haniyah sofyan at 5:50 PM
Labels: Opini
0 comments:

Post a Comment

Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)
sholat yuk

Free Blog Content
Yang punya
My Photo

haniyah sofyan

View my complete profile

.:. Labels .:.

* Buat kampus ku (6)
* Buku (2)
* Cinta (11)
* Edisi Khusus (10)
* Lain-lain (50)
* Opin (2)
* Opini (19)
* Place where we live (3)

Blog Archive

* ▼ 2009 (10)
o ▼ May (2)
+ Sheila On 7 – Yang Terlewatkan (Original Clip High…
+ Don’t wanna be the second best
o ► April (2)
+ Bingung
+ dunia menuju Unifikasi
o ► March (1)
+ Kontrak Politik
o ► February (1)
+ Real Age
o ► January (4)
+ Israel, Palestina dan Obama
+ oedipus complex dan krisis karakter
+ Titik dan Cinta
+ hmmm

* ► 2008 (35)
o ► December (4)
+ Akhir Tahun
+ the one
+ Met Eidul Adha
o ► November (2)
+ KAPITALISASI SUMBERDAYA ALAM DAN ENERGI (SDAE) DI …
+ UU PORNOGRAFI MERUSAK GENERASI BANGSA
o ► October (3)
+ Pe-eR
+ Islam Budaya vs Islam Ideologis
+ Cinta membuatmu terluka… ikatan yang kujalin s…
o ► September (3)
+ met lebaran
+ zakat membawa maut
+ Rahasia Meede Misteri Harta Karun VOC
o ► August (1)
+ Kemerdekaan
o ► July (3)
+ Sumber Energi Alternatif
+ Feminisme dakwah
+ Panen lagi
o ► June (4)
+ Liburan ku
+ Laskar Komando Islam
+ FPI rusuh
+ semua susah
o ► May (7)
+ Selamat
+ Konferensi Pendidikan regional Kalimantan
+ Negeri yang Langka
+ [Glitterfy.com – *Glitter Words*] Cinta itu langi…
+ Buat…
+ Ketika Ibu Beraksi
+ Catatan di SMS
o ► March (3)
+ Antalagi
+ beginilah kegiatan di banjarbaru akhir-akhir ini….
+ Banjarbaru Onthel Mania
o ► February (2)
+ Philip Pulman Trilogy
+ Alif telah tiba…
o ► January (3)
+ Amuntai
+ Komunitas Blogger Kalsel
+ Pusing

* ► 2007 (40)
o ► December (3)
+ Resolusi Tahun Baru
+ Semester Satu
+ selamat eidul adha
o ► November (3)
+ Macet Lagi
+ Strategi Siapa??
o ► October (2)
o ► September (6)
o ► August (4)
o ► July (3)
o ► June (5)
o ► May (3)
o ► April (1)
o ► March (5)
o ► January (5)

^..^ Teman – teman ^..^

* ahi surya
* Amee
* Amin Sudarsono
* bazz
* diary puan
* dy
* femaleap – bjb
* German
* gusti
* harie
* HTI
* Ka Fath
* Khilafah
* khoiru
* Mba Nafiis
* Mia
* qorie
* razied
* rini
* sayur – Solo
* shaleh
* sis qonaah
* sunan limolas
* suriyadi – mtp
* zian

[Free Images Counter by http://www.OGGIX.com] [Free Images Counter by http://www.OGGIX.com] [Free Images Counter by http://www.OGGIX.com] [Free Images Counter by http://www.OGGIX.com]
by OGGIX.com
Free Shoutbox Technology Pioneer
[Informasi Beasiswa S1, S2, S3]
Powered By Blogger

Kecewa –
http://www.newyearstext.com – new years text

new years text

Tinggalkan sebuah Komentar

Muhammadiyah Kalsel

skip to main | skip to sidebar
ISLAM BANJAR

Rabu, 2008 Oktober 22
SEJARAH MUHAMMADIYAH PCM DAHA SELATAN KAB. HSS KALIMANTAN SELATAN

1. Jelaskan latar belakang berdirinya Muhammadiyah di cabang ini ?

Berawal dari keprihatinan akan banyaknya berbagai praktek keagamaan masyarakat yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw, seperti banyaknya perilaku masyarakat yang mengarah kepada perbuatan takhayul, bid’ah dan khurafat serta taqlid buta terhadap pendapat suatu ulama tertentu. Adalah beberapa tokoh diantaranya H. M. Saleh dan Syar’an merasa terpanggil untuk bisa mengajak kembali masyarakat yang berada di sekitar tempat tinggalnya khususnya di kawasan Tumbukan Banyu Kec. Daha Selatan untuk kembali ke pada ajaran Islam murni yang berlandaskan pada Al Quran dan Sunnah Rasulullah Saw.

Untuk melakukan hal itu semua, ternyata tidaklah semudah membalik telapak tangan. Perlu waktu bertahun-tahun lamanya untuk mengubah perilaku masyarakat yang sudah mendarah daging tersebut. Menyadari akan hal tersebut, para pendiri di cabang ini tidak secara langsung mendakwahkan Muhammadiyah secara terang-terangan, melainkan dengan cara sembunyi-sembunyi. Pada awalnya beliau mengumpulkan orang-orang yang seide dengan beliau untuk mengadakan pengajian dari rumah ke rumah, khususnya di rumah beliau sendiri yang kebetulan ruangannya cukup luas sehingga cukup menampung banyak orang.

Dakwah seperti itu berlangsung cukup lama hingga saat ini, dan ternyata cukup efektif dalam menggaet hati masyarakat disekitarnya untuk bergabung dalam persyarikatan Muhammadiyah ini. Sebab dakwah yang dilakukan tidak hanya terbatas pada dakwah bil lisan tapi juga dakwah bil hal, yakni memberikan bantuan langsung khususnya sembako kepada para jamaah/masyarakat yang kebetulan tidak mampu secara ekonomis. Dengan demikian orang pun merasa cukup senang dan antusias mengikutinya, sehingga makin lama makin bertambahlah anggotanya.

Akhirnya setelah merasa cukup kuat, disiapkanlah pendirian Persiapan Cabang Muhammadiyah Daha Selatan yang pada waktu dipimpin oleh Bapak H. Abdul Aziz. Selang beberapa tahun kemudian ditetapkanlah menjadi Cabang Muhamamdiyah Daha Selatan yakni pada tanggal 14 Syawal 1426 H / 16 Nopember 2005 M .

2. Kapan Muhammadiyah berdiri di Cabang ini? Sebutkan tanggal, bulan dan tahun?

14 Syawal 1426 H / 16 Nopember 2005 M

3. Siapakah Pendiri Muhammadiyah di Cabang ini?

a. H. M. Saleh

b. Syar’an

4. Siapakah Pimpinan Muhammadiyah di Cabang ini dari yang pertama sampai dengan saat ini?

a. H. Abdul Aziz (Persiapan Cabang)

b. Muhammad Hasan (2005 – 2010)

5. Sebutkan susunan penguru Pimpinan Muhammadiyah di Cabang saat ini?

a. Ketua : Muhammad Hasan

b. Wakil Ketua : Syar’an

c. Sekretaris : Drs. Bustami

d. Wakil Sekretaris : Aslam, S.Ag

e. Bendahara : H. M. Saleh

f. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid : –

g. Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus : Muhammad, S.Ag

h. Ketua Majelis Wakaf dan ZIS : –

i. Ketua Majelis Kesehatan & Kesej. Masy. : Rusmali, S.IP dan Sulaiman

j. Ketua Majelis Dikdasmen : H. Sirajuddin.

6. Di mana alamat kantor Pimpinan Muhammadiyah di Cabang saat ini?

a. Jalan Musyawara Rt.4 Tumbukan Banyu Negara

b. Kabupaten Hulu Sungai Selatan

c. No Telp/Hp. An. HM. Saleh (0517) 52151, 08125133725

7. Jelaskan hubungan Muhammadiyah dengan Pemerintah dan Organisasi Islam lainnya, serta berikan contohnya?

8. Jelaskan peranan Muhammadiyah menurut Pemerintah dan Masyarakat, berikan contohnya?

Saat ini menurut pemerintah bahwa Muhammadiyah Paharangan cukup aktif dan banyak membantu Pemerintah.

9. Berapa buah masjid yang dimiliki Cabang Muhammadiyah saat ini?

Pada saat ini sedang dilakukan usaha penggalangan dana untuk membangun sebuah masjid guna menampung jamaah yang saat ini hanya dilakukan dirumah salah seorang warga saja.

10. Berapa buah mushalla yang dimiliki Cabang Muhammadiyah saat ini?

No

Nama Mushalla

Nama Ketua

Alamat

Hp

Jumlah Jamaah

1

Al-Jihad

H. M. Nawawi

Habirau

50

11. Berapa buah sekolah/madrasah yang dimiliki Cabang Muhammadiyah saat ini?

Tidak Ada

12. Berapa buah Panti Asuhan Anak Yatim yang dimiliki Cabang Muhammadiyah saat ini? Tidak Ada

13. Berapa buah Badan Usaha yang dimiliki Cabang Muhammadiyah saat ini?

No

Nama Usaha

Nama Pimpinan

Alamat

Hp

Jumlah Anggota

1

BMT

Mahrawi

Tumbukan Banyu

25

14. Adakah Majelis Ta’lim yang diadakan Cabang Muhammadiyah saat ini? Ada, Pengajian Mingguan yang dilaksanakan setiap malam Kamis, serta Pengajian Bulanan setiap Kamis minggu ketiga.

15. Berapa anggota Muhammadiyah yang terdaftar memiliki NBM/Katam di Cabang Muhammadiyah saat ini?

No

Nama Ranting

Alamat

Telp

Jumlah Anggota

1

Tumbukan Banyu

Jl. Musyawarah Rt. 4

40

2

Bayanan

Jl. Bintara Rt. 4

2

3

Habirau

Habirau

8

4

Habirau Tengah

Habirau Tengah

3

Jumlah

53

16. Pimpinan Cabang Muhammadiyah ini terdiri atas beberapa Ranting?

No

Nama Ranting

Nama Ketua

Alamat

Hp

Jumlah Anggota

1

Tumbukan Banyu

Sandun

Jl. Musyawarah Rt. 4

40

2

Bayanan

Syarifuddin, A.Ma

Jl. Bintara Rt. 4

10

3

Habirau

Rusmali

Habirau

30

4

Habirau Tengah

M. Ihsan, S.Ag

Habirau Tengah

20

17. Berapa buah organisasi otonom yang dimiliki Cabang Muhammadiyah saat ini?

No

Nama Ortom

Nama Ketua

Alamat

Hp

Jumlah Anggota

1

Aisyiyah

Rafiqah

Jl. Musyawarah Rt. 4 Tumbukan Banyu

40

18. Program kerja apa saja yang dilakukan Muhammadiyah untuk memberdayakan umat Islam?

Dalam rangka memberdayakan umat Islam khususnya warga Muhammadiyah, diadakanlah santunan sosial berupa pemberian sembako secukupnya bagi warga yang kebetulan tidak mampu secara ekonomis, sehingga mereka diharapkan bisa tersantuni.

19. Tantangan apa saja yang dihadapi Muhammadiyah dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar?

Masih banyaknya orang yang berpandangan keliru terhadap organisasi Muhammadiyah serta misi yang diembannya.

20. Sebutkan sumber dana untuk melaksanakan program kerja Cabang Muhammadiyah saat ini? Iuran Anggota/Simpatisan (Donatur) serta mengedarkan amplop sumbangan

21. Saran?

PWM Kalsel diharapkan lebih sering berkunjung ke Cabang-cabang untuk pembinaan langsung warga Muhammadiyah, agar dapat melihat berbagai berbagai kendala, hambatan dan halangan yang mengakibatkan keberadaan Cabang Muhammadiyah Paharangan kurang berkembang, sehingga dapat diatasi.
Diposkan oleh Sahriansyah di 22.10.08
0 komentar:

Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Halaman Muka
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
Arsip Blog

* ▼ 2008 (5)
o ▼ Oktober (4)
+ RIWAYAT HIDUP DATU SANGGUL
+ RISALAH TASAWUF SYEKH ABDUL HAMID ABULUNG Oleh : S…
+ AJARAN TASAWUF SYEKH ABDURRAHMAN SHIDDIQ AL-BANJAR…
+ SEJARAH MUHAMMADIYAH PCM DAHA SELATAN KAB. HSS KAL…
o ► September (1)
+ Etnis Banjar

Mengenai Saya

Sahriansyah

Lihat profil lengkapku
Benarkah etnis banjar religius ?

Tinggalkan sebuah Komentar

Older Posts »